Mencermati Pandangan Gap Theory


Apakah Gap Theory secara Biblikal bisa dibenarkan? Ini perlu di selesaikan. Semoga artikel ini bisa menjawabnya. Salah satu peristiwa paling penting yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap hubungan antara teologi (gereja) dan ilmu pengetahuan adalah penemuan Teori Heliosentris oleh Copernicus pada abad ke-16 dan selanjutnya diteguhkan serta dipopulerkan oleh Galileo Galilei. Mereka menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya dan planet lain bergerak mengelilingi matahari. Pandangan ini jelas berbeda dengan pandangan gereja waktu itu yang mengajarkan konsep geosentris (bumi adalah pusat, sedangkan matahari dan planet lain mengelilingi bumi). Pandangan gereja ini didasarkan pada penafsiran terhadap beberapa ayat yang memang memberi kesan seakan-akan matahari yang bergerak, misalnya Yosua 10:12-13, Mazmur 19:5-6. Perseteruan antara teologi (gereja) dan sains ini semakin lama semakin tajam. Situasi ini terus memicu beragam sikap orang Kristen terhadap sains. Pada masa pencerahan (enlightenment), orang melihat dua bidang ini sebagai dua hal yang tidak bisa diharmonisasikan. Pada masa itu pemisahan total (dualisme) antara iman dan rasio, teologi dan filsafat, Alkitab dan sains mencapai puncaknya. Apa yang benar secara metafisika dianggap tidak berkaitan dengan kebenaran fisika. Di sisi lain sebagian orang Kristen tetap berusaha mengharmonisasikan dua hal tersebut. Tidak jarang mereka mengubah penafsiran Alkitab tradisional supaya harmonis dengan sains. Beberapa usaha ini ternyata lebih tepat, tetapi tidak sedikit yang melenceng dari kebenaran. Salah satu usaha harmonisasi yang tidak tepat adalah tafsiran yang mengatakan adanya dua penciptaan bumi. Hal ini dianggap bisa menyelesaikan perdebatan tentang usia bumi yang sangat tua berdasarkan analisa geologis. Pandangan yang menganggap ada jarak waktu yang panjang antara bumi yang pertama dengan bumi yang kedua disebut dengan istilah Gap Theory (Teori Jarak). Dari sisi biblikal, penganut teori ini berpendapat bahwa sebelum penciptaan alam semesta pada Kejadian 1:3-31, Allah pernah menciptakan alam semesta lain (Kej 1:1-2). Alam semesta yang pertama diciptakan telah rusak akibat kejatuhan iblis. Dengan kata lain, Kejadian 1:3-31 dianggap sebagai penciptaan ulang. Mengapa mereka menafsirkan Kejadian 1:1-2 seperti itu? Apakah pandangan ini bisa diterima?

Argumentasi yang mendukung Gap Theory
Penganut Gap Theory biasanya memakai beberapa argumentasi berikut untuk mendukung pandangan mereka. Pertama, mereka menafsirkan kata Ibrani hayah di Kejadian 1:2 dengan “menjadi”, bukan “adalah”, sehingga terjemahan ayat 2 yang dianggap tepat adalah “bumi menjadi belum berbentuk dan kosong”. Untuk mendukung pandangan ini, mereka menunjukkan beberapa ayat dari Kitab Kejadian yang juga memakai hayah dengan arti “menjadi”, misalnya: 3:20 “Hawa menjadi (hayah) ibu dari semua yang hidup” 21:20 “(Ismael)… menjadi (hayah) pemanah” 37:20 “Kita akan melihat apa yang akan terjadi (hayah) dengan mimpinya”. Seandainya terjemahan ini benar, ayat 2 menyiratkan adanya suatu peristiwa khusus yang menyebabkan bumi menjadi kacau (belum berbentuk dan kosong, gelap gulita). Alasan lain yang dikemukakan untuk mendukung Gap Theory berhubungan dengan penafsiran kata Ibrani tohu di Yesaya 45:18. Ayat ini menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan bumi menjadi tempat yang kosong (tohu). Bagaimana mungkin ada bumi yang belum berbentuk (tohu, kata Ibrani yang juga dipakai di Kej 1:2), sedangkan Allah tidak menciptakan bumi yang tohu? Keadaan bumi yang belum berbentuk (tohu) di Kejadian 1:2 menunjukkan bahwa ada sesuatu yang telah terjadi pada bumi tersebut. Masih berkaitan dengan dua penjelasan di atas, penganut Gap Theory berpendapat bahwa penafsiran di atas lebih sesuai dan berguna dalam menjelaskan kejatuhan iblis di Yesaya 14:10-14 dan Yehezkiel 28. Dua teks ini merupakan teks yang secara tradisional dipahami sebagai penjelasan terhadap kejatuhan iblis. KJV bahkan menerjemahkan “bintang timur” di Yesaya 14:12 dengan “Lucifer”. Mereka menganggap bahwa pembuangan iblis dari surga ke bumi telah menyebabkan kerusakan yang hebat, sehingga bumi menjadi kacau.

Sanggahan terhadap Gap Theory
Walaupun alasan-alasan yang dikemukakan penganut Gap Theory terkesan masuk akal, namun masih memiliki banyak kelemahan yang mendasar. Dalam frase yang menunjukkan suatu keadaan (disebut dengan istilah circumstantial clause), kata Ibrani hayah dalam tense perfect seringkali menunjukkan keadaan yang statis. Dengan kata lain, hayah dalam konteks seperti ini seharusnya diterjemahkan “adalah” atau “berada”, bukan “menjadi”. Hal ini bisa dilihat dari beberapa bagian Alkitab yang lain, misalnya Kejadian 3:1 “ular adalah (hayah) lebih cerdik”, Kejadian 29:17 “Rahel adalah (hayah) cantik dan menarik”, Kejadian 34:5 “anak-anaknya sedang berada (hayah) di padang”, Keluaran 1:5 “Yusuf berada (hayah) di Mesir”, Yunus 3:3 “Niniwe adalah (hayah) sebuah kota yang besar”. Penafsiran mereka terhadap kata tohu di Yesaya 45:18 juga perlu dipertanyakan. Kata tohu di ayat ini tidak mengindikasikan kehancuran atau kekacauan. Di ayat ini tohu dikontraskan dengan “didiami”, sehingga tohu sini pasti berarti “ketidakadaan/kesunyian” (ayat 18 “...bukan supaya kosong tetapi...untuk didiami”). Berdasarkan hal ini, kata tohu yang juga muncul lagi di ayat 19 (KJV/ASV/NIV/LAI:TB “dengan sia-sia”) sebaiknya diterjemahkan dengan arti “tanah terbuang” (= “tidak bisa didiami”; NASB/BBE). Dalam konteks Kejadian 1, kita sebaiknya memahami tohu sebagai rujukan pada keadaan bumi yang belum siap didiami oleh manusia. Hal ini terlihat dari permainan bunyi dalam bahasa Ibrani antara tohu (“belum berbentuk”) dan tob (“baik”). Setelah Allah melakukan rangkaian penciptaan di ayat 3-31, bumi tidak lagi tohu (belum berbentuk), tetapi sudah menjadi tob (“baik”, ayat 4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). Bagaimana dengan kejatuhan iblis? Sebagian besar penafsir modern semakin yakin bahwa Yesaya 14:10-14 dan Yehezkiel 28:1-10 tidak merujuk pada kejatuhan Iblis. Dua teks tersebut merupakan nubuat tentang kejatuhan raja Babel (Yes 14:4) dan Tirus (Yeh 28:1-2) yang telah berbuat jahat dan menyombongkan diri. Seandainyapun dua teks ini “memang” merujuk pada kejatuhan Iblis, keduanya tetap tidak memberi dukungan apa-apa untuk Gap Theory, karena tidak ada indikasi dalam teks bahwa Iblis dibuang ke bumi (apalagi sampai membuat bumi rusak). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis puisi dari dua teks ini, sehingga keduanya tidak bisa ditafsirkan secara hurufiah.
Alkitab bagian lain memang memberikan beberapa petunjuk tentang kejatuhan Iblis ke bumi (Luk 10:18; Why 12:9, 12), namun teks-teks itu hanya merujuk pada kekalahan Iblis melalui karya Kristus, bukan kejatuhan Iblis sebelum dunia dijadikan. Teks-teks itu juga tidak menjelaskan pengaruh kejatuhan Iblis secara fisik terhadap bumi. Selain itu, sulit dimengerti mengapa kejatuhan Iblis yang secara natur adalah makhluk roh bisa membawa dampak fisik secara langsung berupa kehancuran bumi (walaupun Iblis memang memiliki potensi untuk menciptakan kerusakan fisik pada bumi kalau diijinkan Allah). Kehancuran bumi, seandainya memang pernah terjadi, merupakan peristiwa yang sangat besar, sehingga sangat janggal apabila Alkitab tidak pernah menyinggung hal tersebut secara eksplisit. Sebagai perbandingan, Alkitab mencatat peristiwa pemusnahan bumi melalui air bah (Kej 6:9-7:24). Dalam cerita ini dijelaskan bahwa alasan Allah menghukum bumi adalah karena kejahatan manusia yang sudah terlalu besar (Kej 6:5-7, 13). Setelah penghukuman ini Allah berjanji untuk tidak memusnahkan bumi lagi (Kej 8:21-22; 9:8-17). Kalau Allah sendiri hanya membinasakan bumi karena dosa yang begitu besar, bagaimana mungkin Ia membiarkan “bumi yang lama” hancur hanya gara-gara kejatuhan Iblis?

Semoga Artikel ini menambah wawasan kita serta membawa kita untuk semakin mengasihi Tuhan dan percaya akan kebenaran Alkitab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar