Pendeta Kaya

Pasti banyak yang tidak setuju ketika melihat postingan ini..... Namun saya juga yakin bahwa ada banyak yang senang dan setuju karena "keberanian" membagikan postingan ini (Pro & Kontra uda biasa). SUDAH PASTI BAHWA POSTINGAN INI TIDAK BERMAKSUD MENGGENERALISASI. YANG JELAS BAHWA PENDETA YANG DIMAKSUD DALAM POSTINGAN INI DALAH "PENDETA YANG MOTIVASINYA UNTUK MEMPERKAYA DIRI". Bagi Pendeta yang menjalani panggilannya dengan benar di dalam Tuhan tidak harus "tersinggung" karena kita semua tahu bahwa MASIH ADA PENDETA YANG SUNGGUH TULUS DAN SETIA DALAM MENJALANI TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN PANGGILANNYA


Sadar atau tidak, setuju ataupun tidak setuju.....namun melihat keadaan, maka jaman ini tepat seperti yang digambarkan oleh Paulus dalam 2Timotius 3:2; jaman uang.“Manusia akan menjadi hamba uang,” tegas Paulus. Ya, kecintaan akan uang memang telah menggilas habis nurani banyak orang. Dalam surat yang sebelumnya kepada Timotius, Paulus juga telah menyinggung hal ini. Dalam 1Timotius 6:10, dia berkata: Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Sebuah kenyataan yang menggelisahkan.


Idealisme nyaris tak tersisa, bahkan jika ada yang memilikinya seringkali dianggap bodoh, tidak realistis, melepas kesempatan emas, dan berbagai penilaian lainnya. Orang tak segan-segan menjual kebenaran demi uang. Hati nurani secara perlahan tapi pasti, teriris habis. Dengan mudah kita menemukan pertengkaran hingga permusuhan karena uang. Bahkan kasus pembunuhan bermotif uang semakin meninggi jumlahnya. Pertalian darah dengan mudah bisa“putus” karena harta warisan yang juga sama dengan uang. Wajah dunia makin hari makin menyedihkan, tak lagi mampu memancarkan kemurnian yang murni. Kehidupan terus berubah, penuh basa-basi, semakin kehilangan arti kasih yang sejati, karena semua bisa dibeli. Orang kini bisa membeli senyuman, bahkan “perkawanan” hingga “pernikahan”. Semboyan asal ada uang semua bisa datang, semakin mendapat pembenaran dalam kenyataan. Namun yang paling menyedihkan adalah runtuhnya tembok keimanan.


Iman, yang seharusnya membuat manusia beriman berdiri teguh di tengah badai godaan uang, ternyata, juga turut mengalami goncangan. Banyak orang “beriman” kini tak lagi menyukai iman. Iman dianggap menyingkirkan diri dari pergaulan jaman. Orang tak dihargai karena beriman, melainkan karena ber-uang. Di lingkungan rohani virus ini terus menyebar luas, Ironis. Kini ada guyonan pahit: Jika berbisnis bukalah gereja, dijamin tak rugi, bahkan terkesan suci. Mengapa? Karena ternyata banyak “petinggi gereja” yang memang berbisnis dalam membuka gereja. Jabatan “pendeta” menempel tanpa pernah jelas dari mana asalnya, dan bagaimana bisa meraihnya. Pemahaman teologi tak ada, berkhotbah tak pernah, yang ada hanya kata bagaikan mantera, “Roh Tuhan berbicara pada saya…” Visi diungkapkan seakan datang dari surga untuk digarap di Bumi. Namun jika dicermati, hati tersentak karena semua bermuara pada sang pendeta.


Yang lain mungkin sedikit lebih baik dalam kemampuan. Sekalipun tak memiliki pemahaman teologi, namun karena fasih lidah sang pendeta berkhotbah. Yang dikisahkan selalu yang meninabobokkan umat. Sukses yang semu dikumandangkan dalam apa yang disebut kesaksian, sementara kebenaran sebagai buah hidup orang percaya, nyata-nyata, tak tampak. Pendekatan emosi selalu menjadi pola karena sukses mendulang hasil. Lagi-lagi ungkapan rohani: “sentuhan Roh Kudus”, menjadi kata-kata sakti yang membutakan umat untuk tak lagi menguji segala sesuatu. Padahal Alkitab jelas berkata, “jangan padamkan Roh, namun ujilah segala sesuatu” (1Tesalonika 5:19,21). Umat menjadi percaya, dan dana mengalir kencang. Tampaknya tak jelas berakhir di mana. Karena ada gedung gereja, aset gereja dan lainnya. Seakan pemakaian uang tampak nyata, namun ternyata, di balik semuanya tersisa masalah yang luar biasa. Aset atas nama pribadi pendeta, sering terungkap setelah pendeta tiada. Terjadilah tarik-menarik aset yang sungguh tak menarik sama sekali.


Yang sedikit lebih canggih, aset atas nama yayasan, atau bahkan gereja. Namun dalam aktenotaris ternyata susunan pengurus didominasi oleh keluarga pendeta. Lagi-lagi untuk suara terbanyak, pengurus dan umat kecele. Tapi ada yang lebih halus lagi, seakan pengurus tidak didonimasi keluarga pendeta, namun ternyata bunyi klausul yang ada memberikan kekuasaan tak terbatas pada pendeta atau segelintir orang dekat pendeta, atas aset yang ada. Umat selalu berkata, itu urusan pendeta dengan Tuhan, dan tentu saja pendeta money oriented senang karena memang pemahaman itu yang ditabur untuk dituai. Umat telah digiring pada paham yang salah, sehingga tak lagi kritis, apalagi menguji sesuai kata Alkitab. Belum lagi ketakutan akan kutuk yang selalu ditebar, seperti “jangan mengganggu pendeta, karena dia adalah biji mata Tuhan”. Pengultusan dilakukan dalam waktu yang lama lewat indoktrinasi. Sayangnya, umat semakin tenggelam dan gelap mata mengikuti, sekalipun nyata-nyata salah. Apalagi jika lingkungan pelayanan diwarnai suasana dan ajaran yang mistis, dan lagi-lagi, obral kata-kata “kehendak Roh”.


Ketika pendeta kaya raya, maka alasannya sangat mudah: itulah bukti pendeta diberkati, pendeta beriman. Padahal kekayaan pendeta yang bertumpuk justru bukti ketidakpedulian pada yang susah. Banyak umat yang susah, apalagi dalam konteks Indonesia. Tidak salah pendeta memiliki mobil karena memang dia membutuhkannya. Namun jika mobil itu mewah dan jumlahnya yang berlebih, bukankah itu tak lazim? Pendeta harus memiliki rumah, karena dia dan keluarga memerlukannya. Tapi jika rumah itu mewah dan ukurannya wah, bagaimana mungkin dia bisa berkata, sangat peduli pada umat yang kebanyakan tak atau belum, memiliki rumah. Umat yang dimaksud tentulah orang percaya yang baik, di berbagai tempat secara merata. Terhadap berbagai hal ini, biasanya dengan mudah pula pendeta berkelit dan berucap, ini adalah pemberian umat juga. Mungkin dia benar. Hanya saja, mengapa umat memberi, itu tetap harus diuji. Jangan-jangan hasil indoktrinasi yang keliru. 


Ada juga umat yang suka memberi pada pendeta ternyata pelit pada sesama. Mengapa? Anda pasti tahu alasannya. Ini adalah kenyataan yang menyedihkan. Sudah waktunya kita mengembalikan semuanya pada kebenaran. Gereja bukan kerajaan, sehingga yang ada suksesi keturunan, kekeluargaan, padahal tidak ada panggilan yang jelas. Sangat menyenangkan jika anak pendeta menjadi pendeta karena panggilan, tapi jangan dengan motivasi melanggengkan kekayaan. Jangan lagi terucap kalimat “pendeta harus kaya sebagai bukti diberkati”, karena yang benar adalah pendeta yang diberkati akan menjadi berkat bagi banyak orang. Jangan lagi menumpuk kekayaan untuk diri, karena Alkitab telah mengatakan, “adalah terlebih berkat memberi dari pada menerima”. Bukankah “Doa Bapa Kami” yang antara lain berkata “Berilah kami makanan kami yang secukupnya”, nadanya sangat indah? Atau mungkin kita telah lupa pada apa yang diajarkanYesus?


Biarlah para pebisnis hidup sesuai dunia mereka (pakaian, mobil dan rumah mewah sebagai bukti prestasi), dan pendeta di panggilannya (kejujuran, kesetiaan, kesederhanaan). Berpunya tapi tak berlebih, karena memilih fungsi bukan prestise. Mari menjadi pendeta, yang adalah gembala, tapi bukan upahan tentunya. Berani menyatakan kebenaran dan menjadi model dalam kehidupan. Selamat menjadi pak pendeta yang kaya rasa, bukan kaya harta. Semoga umat jeli mengamati dan membantu pendeta agar berada di jalurnya.

 

 

Pustaka utama:

Alkitab (LAI, 2007)

http://reformata.com/

Bagaimana Dapat Yakin Bahwa Saya Telah Diselamatkan

Pertanyaan ini timbul oleh karena seseorang tidak selalu merasa sudah diselamatkan. Akan ada saat-saat dalam perjalanan kekristenan ketika seseorang tidak merasa dekat dengan Tuhan, ketika tidak merasa bahwa dia telah menjadi orang Kristen atau ketika dalam kehidupannya hanya merasakan “banyak ocehan” orang Kristen.

Tetapi keselamatan kita tidak didasarkan pada perasaan. Kita tidak memerlukan adanya perasaan yang hangat untuk memastikan bahwa Allah ada bersama kita; yang kita perlukan hanyalah iman.


Jikalau saudara merasa seperti tersebut di atas, ajukanlah dua pertanyaan ini kepada diri saudara: (1) Apakah saya benar-benar mempercayai apa yang menurut Allah diperlukan untuk bisa diselamatkan (Yoh. 3:16)? (2) Apakah saya bersungguh-sungguh waktu saya meminta Yesus masuk dalam hidup saya? Jikalau saudara bisa berkata ya, maka saudara siap untuk memeriksa Firman Allah dan menemukan jaminan untuk iman saudara. 


Saudara memiliki keselamatan dan kehidupan kekal karena apa yang Yesus lakukan bagi saudara (1Yoh. 5:11-12). Allah telah menunjukkan kasihNya kepada saudara dengan jalan memberikan kehidupan kekal (Roma 5:8). Dosa-dosa saudara telah ditebus dan saudara memiliki Roh KudusNya (1Pet. 3:18).


Jikalau saudara menerima Dia, saudara adalah anakNya (Yoh. 1:12). Bila saudara percaya kepada Yesus Kristus, saudara mempunyai hidup yang kekal dan saudara tidak bersalah di hadapan Tuhan (Yoh. 5:24). Tidak ada seorangpun yang bisa merebut saudara dari Dia (Yoh. 10:27-29).


Saudara telah memulai suatu kehidupan baru (2Kor. 5:17). Mungkin saudara tidak selalu merasa baru dan berbeda, tetapi saudara dapat mempercayai janji-janji Allah kepada saudara.


Pustaka Utama:

Alkitab, LAI (2007)

Pola Hidup Kristen

Bagaimana Bisa Memastikan Bahwa Saya adalah Seorang Kristen

Dalam menjalani pelayanan yang dipercayakan Tuhan kepada saya, saya seringkali ditanya oleh banyak orang dengan pertanyaan: "Bagaimana saya bisa memastikan bahwa Yesus adalah Juruselamat dan Tuhan saya?" Tentunya ini merupakan sebuah pertanyaan yang bisa terucapkan hanya ketika seseorang "telah mengaku" bahwa dia sudah percaya kepada Yesus Kristus. Satu cara yang sederhana untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu adalah melalui ledakan sukacita dan kegembiraan yang dirasakan ketika membaca Alkitab (Maz. 1:2; 119:97. Hal itu terjadi pada waktu Allah berbicara kepada seseorang melalui Alkitab, tentunya hal seperti itu tidak mungkin terjadi bila seseorang tidak mengenal Kristus.

Satu cara yang lain adalah melalui perasaan akan kehadiran Allah yang dialami dalam kehidupan ini. Pada waktu saya bepergian dan tempat tidur kosong, saya tahu bahwa Allah ada di sana. Ketika saya di Rumah Sakit, di rumah dsb, saya tahu bahwa Allah ada di sana (Evelyn Christenson, Pola Hidup Kristen).

Orang Kristen yang tidak pernah merasakan Allah berbicara kepada mereka dan merangkul mereka pada saat-saat kesepian mungkin tidak sungguh-sungguh mengenalnya. Hidup bersama Allah bukan soal teologi, melainkan soal pengalaman (Evelyn Christenson). Hidup bersama Allah adalah tanggapan, perasaan, emosi. Ada emosi dalam setiap hubungan lain yang saya miliki, dan ada juga emosi dalam hubungan saya dengan Tuhan.

Pustaka Utama:
Alkitab, LAI
Pola Hidup Kristen