DEMAM SELEBRITI

Kalau kita membaca Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, tampaknya orang yang paling berpengaruh dalam masyarakat adalah nabi-nabi. Suara mereka di dengar, penglihatan mereka dipercaya dan nasihat mereka dituruti, malaupun kadang-kadang masyarakat lebih tertarik kepada nabi-nabi palsu ketimbang nabi-nabi yang sejati.  Jika kita membaca buku-buku sejarah, yang paling berpengaruh di dalamnya adalah para pahlawan, yaitu tokoh-tokoh politis yang dengan gagah berani membela rakyatnya dari ancaman musuh. Sekarang, zaman para nabi dan pahlawan sudah berlalu. Siapakah yang paling berpengaruh saat ini? Orang-orang yang disebut selebriti (mereka yang penampilannya menonjol dalam dunia hiburan): para artis, penyanyi, penari, bintang film, bintang sinetron, pemain sepakbola dll. Itu sebabnya banyak orang ingin menjadi selebriti. Lihat panjangnya antrian orang-orang yang melamar dalam cara-acara Indonesian Idol, Indonesia mencari Bakat, Akademi Fantasi Indosiar, Mamamia dan sejenisnya.
Budaya sekarang sering disebut budaya selebritisme. Siapapun yang ingin terkenal dan berpengaruh harus mengikutsertakan selebriti dan bahkan meniru gaya selebriti. Di TV, mulai dari acara diskusi isu-isu sosial sampai Hong Sui melibatkan selebriti. Dalam kampanye pemilu, hampir semua parpol melibatkan selebriti, entah sebagai caleg atau sekadar disewa untuk memeriahkan panggung kampanye. Para pemimpin politik dan calon presiden pun harus belajar acting, supaya bisa tampil menarik dalam iklan kampanye. Mereka harus menjadi selebriti-selebriti politik.
Bukan hanya dunia politik yang dipengaruhi oleh selebritisme, gereja pun juga demikian. Untuk menarik banyak pengunjung, banyak gereja secara rutin mengundang selebriti untuk menyanyi dan memberi kesaksian. Bahkan menurut kabar, tidak sedikit gereja yang pendetanya adalah mantan artis. Biasanya gereja semacam ini laris manis. Entah orang datang berbakti, entah untuk menonton sang artis pendeta.
Selebriti dipuja, dikagumi, dibayar mahal, diimpikan oleh banyak orang. Tetapi banyak selebriti tidak bahagia, sangat banyak yang rumah tangganya berantakan, menjadi pecandu narkoba atau alkohol (anehnya, gereja tidak mencari tahu dulu, kemudian mengundang para selebriti ini), bahkan ada yang bunuh diri. Penyanyi Britney Spears mengungkapkan sisi lain dari kehidupan selebriti yang penuh penderitaan dalam lagunya “Lucky”. Dalam lagu itu dilukiskan betapa banyak orang mengira seorang bintang holywood begitu beruntung, tetapi sebenarnya hidup pribadinya penuh kekosongan dan kesepian.
Yang lebih umum lagi ialah selebriti-selebriti yang frustasi, stress, dan depresi ketika popularitasnya mulai menurun. Para selebriti tidak selamanya dipuja, dikagumi, dibayar mahal, dan diimpikan. Kalau muncul bintang baru, yang lama akan mulai dilupakan. Hubungan selebriti dengan pemuja-pemujanya bisa sangat emosional, tetapi sebenarnya tidak pernah mendalam.
Pada awal pelayananNya, Yesus menarik banyak orang bagaikan seorang superselebriti. Ke mana saja Ia pergi, orang berdesak-desakan mengikuti. Mereka ingin mendengar khotbahNya dan menyaksikan mukjizat-mukjizatNya. Sampai-sampai sulit bagiNya untuk mencari tempat menyepi. Tetapi ketika ternyata pesan yang disampaikanNya tidak begitu cocok dengan selera massa, banyak yang berhenti mengikuti Dia karena kecewa. Apalagi ketika secara politis menjadi berbahaya dekat-dekat dengan Dia, karena penguasa mengincarNya dan merencanakan untuk membunuhNya; ketika menjadi lebih jelas bahwa Yesus tidak lagi punya masa depan, oran mulai menjauh atau mengumpat. Bahkan seorang muridNya sudah mulai memikirkan penghianatan. Bagi orang-orang yang memuja Dia sebagai seorang selebriti, Yesus sudah waktunya digeser dan dilupakan.
Tetapi bagi Maria (Yoh. 12:1-8), Yesus bukan sekedar seorang selebriti. Hubungannya dengan Yesus bukan hubungan antara fans dan idolanya. Maria mengasihi Yesus dengan hati yang tulus. Kekaguman seorang hamba kepada Tuhannya. Kekaguman yang disertai rasa hormat ciptaan kepada Penciptanya. Kasih yang tulus bekerja tidak hanya ketika sang kekasih tampak menawan dan populer, tetapi lebih-lebih ketika ia dalam bahaya dan menghadapi kesulitan. Kasih yang tulus siap tidak hanya untuk menikmati indahnya kehidupan, tetapi juga untuk menghadapi penderitaan, bahkan kematian.
Ketika hubungan yang sangat emosional tetapi dangkal yang dijalin oleh para fans Yesus dengan idolanya tidak lagi bertahan, ketika Yesus tidak dianggap berharga lagi karena sebentar lagi toh Ia akan tinggal sesosok mayat, Maria justru menunjukkan betapa berharganya Yesus bagi dirinya. Setengah kati minyak narwastu yang sangat mahal harganya, dan bahkan harga dirinya sendiri tidak ada artinya dibandingkan dengan diri Yesus, bahkan pada saat sedang menghadapi ancaman maut.
Apa yang dilakukan oleh Maria tidak populer (tidak seperti tindakan kebanyakan pengagum Yesus), tidak sesuai tradisi (menurut tradisi, yang diminyaki kakinya adalah orang mati, bukan orang hidup), dan tidak ekonomis (perhatikan reaksi manajer keuangan Yesus, Yudas!; ). Baik selera masa kini (selebritisme) maupun tradisi (tradisionalisme) ataupun efisiensi (manajerialisme) memang tidak selalu dapat mengungkapkan kasih yang tulus. Kasih Maria kepada Yesus memampukan dia menyambut Yesus secara kreatif dan orisinil.
Sikap dan tindakan Maria pada dasarnya adalah sebuah ibadah kepada Yesus. Ibadah kristen memang dimaksudkan untuk mengungkapkan kasih yang tulus kepada Yesus. Jiwa ini seringkali dilupakan ketika kita terlalu larut dalam kontroversi akhir-akhir ini mengenai masalah peribadatan.
Saat ini terjadi di mana-mana apa yang disebut worship war: pertentangan tentang bentuk ibadah antara kaum tradisionalis dan kelompok selebritis. Tradisionalis ingin agar tradisi peribadatan gereja masa lalu dipertahankan dan, kalau sudah lama dilupakan, dihidupkan kembali. Selebritis ingin agar ibadah lebih kontemporer agar sesuai dengan selera seni yang sedang disukai orang banyak. Masing-masing punya alasan yang sama kuatnya. Yang satu ingin setia kepada tradisi, yang lain mau tanggap terhadap perubahan budaya.
Tetapi ibadah adalah untuk jemaat, bukan jemaat untuk ibadah! Karena itu yang penting sebenarnya adalah apakah suatu bentuk ibadah dapat menolong jemaat untuk mengungkapkan kasih yang tulus kepada Yesus. Ibadah yang dibangun sekadar untuk melayani tradisi akan menjadi sekadar ritual kosong, demikian pula ibadah selebritisme yang semata-mata dibuat untuk memuaskan selera massa, tidak lebih dari sebuah permainan emosi yang dangkal.
Jika kita beribadah untuk mengungkapkan kasih yang tulus kepada Yesus, ibadah kita mungkin bisa menyimpang dari tradisi, atau bisa saja berbeda dengan selera massa, tetapi ibadah itu akan kreatif, dinamis dan orisinil. Seperti dijelaskan Paulus dalam Filipi 3, tradisi maupun selera massa tidak dapat menampung jiwa ibadah yang sejati.
Firman Tuhan dalam Yohanes 12:1-8 ini seringkali dipakai untuk membenarkan jenis spiritualitas yang mengabaikan kepedulian sosial. Seolah-olah di sini Yesus mengutamakan ibadah kepadaNya di atas pelayanan kepada orang miskin. Seolah-olah sah-sah saja menghabiskan anggaran yang luar biasa besarnya untuk membangun gedung gereja dan membuat acara-acara kolosal, dan tidak sesen pun untuk program kemanusiaan. Tetapi bukan itu yang dimaksud dalam bagian ini.
“orang miskin selalu ada padamu” berarti: selalu ada kesempatan untuk menolong orang miskin. Tetapi yang pertama-tama perlu dimiliki adalah hati yang mengasihi Yesus. Yudas memang mengangkat isu pentingnya menolong orang miskin ketimbang membuang-buang minyak yang mahal itu. Pertimbangan Yudas ini bukan hanya populer (pasti disambut oleh banyak orang), tetapi juga sesuai dengan tradisi sosial orang Yahudi, dan tentu berdasarkan asas manajemen yang efisien. Tetapi hati Yudas bukan hati yang mengasihi, karena itu Firman Tuhan menjelaskan bahwa Yudas tidak bersungguh-sungguh ingin menyumbangkan kepada orang miskin, kalau toh minyak wangi itu dijual dan uangnya dipercayakan kepadanya. Nasib orang miskin sering dijual dan didramatisasi untuk mendapatkan dana, yang kemudian lebih banyak dipakai untuk kepentingan lain.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa kepedulian terhadap orang miskin merupakan bagian iman Kristen dan menjadi ciri pelayanan Kristen selama berabad-abad. Tetapi bagi kita, pelayanan ini bukan sekadar tradisi, bukan pula sekadar ikut arus demi popularitas, seperti yang dilakukan parpol-parpol dalam rangka kampanye. Pelayanan kemanuasiaan Kristen adalah wujud dari ibadah kita – ungkapan dari kasih yang tulus kepada Yesus Kristus Tuhan kita.
PUSTAKA
ALKITAB (LAI) 
Kemarahan, Keramahan & Kemurahan ALLAH (Yahya Wijaya, Ph.D.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar