PENGKHOTBAH PERLU MENGINGAT HAL-HAL INI

Yang sesungguhnya terdapat dalam khotbah adalah pemahaman akan otoritas Allah yang membedakan khotbah tersebut dengan sekadar komunikasi yang baik saja. Pengkhotbah besar adalah komunikator yang baik, namun komunikator yang baik tidak selalu merupakan pengkhotbah yang besar. Dan perbedaannya adalah otoritas. Definisi saya tentang khotbah adalah baha khotbah merupakan perkataan dari Allah bagi manusia pada suatu saat dalam sejarah.

Setiap pengkhotbah perlu mengingat tiga rumus besar:
Pertama, Jangan pernah berani berdiri di depan sekelompok orang dengan Alkitab di tangan dan tidak mengharapkan perubahan. Kita harus memiliki keyakinan yang kudus – yakni keyakinan pada Allah dan firman-Nya, keyakinan bahwa Allah akan mengubah kehidupan kapanpun kita berbicara dari kitab-Nya.
Kedua, Ingatlah bahwa tujuan dari seluruh pelayanan adalah transformasi. Bukan berarti bahwa pelayanan harus disukai. Bukan pula berarti bahwa pelayanan harus diterima. Tujuan utama Allah adalah mengubah kehidupan.
Ketiga, Pada hari kiamat nanti, efektifitas khotbah kita akan memancar dari kekudusan kehidupan pribadi kita.1

Dalam 2Korintus 2:17, Paulus berkata “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari (καπηλεύω - kapeleuo : peddle – NAS, NIV) keuntungan dari firman Allah.” Dalam bahasa Yunani, kata peddle berarti pembuat minuman anggur yang punya beberapa kiat. Mereka akan melemahkan anggur dan mengedarkannya seakan-akan anggurnya asli. Paulus berkata tidak, jangan menginjak-injak integritas kebenaran firman Allah. Jangan menjadi terlalu perhatian pada “komunikasi” sehingga melemahkan isinya yang murni. Paulus melanjutkan dengan berkata, “Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.” Itu memberitahu kita agar tulus dalam komunikasi kita, dengan mempertahankan integritas. Jangan menjadi orator yang berubah menjadi aktor yang mempesona dengan mengucapkan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang akan bertepuk tangan sambil berdiri untuk Anda. Jangan terlalu mementingkan permainan kata-kata yang bisa mengundang senyum dan decak kagum dari umat.

Ada “racun kemabukan” di seputar mimbar. Semakin tinggi pujian semakin dekat kita pada kehancuran, maka janganlah bermain-main dengan umat. Ketika berkhotbah, harus diingat bahwa kita sedang berurusan dengan perkara yang kekal, dengan kebenaran, dengan hal-hal yang menuntut transparansi dan integritas yang sempurna. 

Selamat menjadi pengkhotbah Firman Tuhan..!


Footnote:

TUGAS SEBAGAI PENGKHOTBAH BIBLIKAL

Untuk melaksanakan tugas sebagai pengkhotbah biblikal, kita harus bertekat melakukan kebenaran-kebenaran tertentu.

*      Alkitab adalah Firman Allah. Seperti yang disampaiakan oleh Agustinus, “Ketika Alkitab berkata, Allah berkata.” Ini adalah keyakinan bahwa jika saya benar-benar bisa mengerti konteks suatu bagian, maka saya tahu apa yang Allah mau katakan.
*      Keseluruhan Alkitab adalah Firman Allah. Bukan hanya surat Roma, melainkan Imamat, bukan hanya surat Efesus, melainkan Ester. Bukan hanya bagian-bagian “yang panas” tetapi juga bagian-bagian “yang dingin.”
*      Alkitab membuktikan kebenarannya sendiri. Jika orang bisa diperlihatkan pada suatu pemahaman Kitab Suci dengan dasar yang umum, maka mereka tidak membutuhkan pembelaan-pembelaan tentang keaslian Kitab Suci. Itu sebabnya, seorang pendengar atau pembaca tidak perlu menerima kedua komitmen pertama sebelum Allah bisa berkarya di dalam kehidupan seseorang melalui Firman-Nya.
*      Ini menghasilkan “maka berkatalah Tuhan” pada pendekatan berkhotbah. Di sini saya tidak sedang membicarakan tentang metode Homiletika, melainkan tentang kerinduan menyingkapkan Kitab Suci sehingga kedaulatan beritanya terletak pada Alkitab.
*      Murid Alkitab harus berupaya memahami maksud dari penulis Alkitab. Pertanyaannya yang pertama adalah, “apakah yang penulis Alkitab ingin katakan kepada pembaca Alkitab? Mengapa?” Teori Tanggapan Pembaca yang dianut oleh banyak sarjana sastra hari ini tidak sesuai untuk mempelajari Alkitab. Singkat kata, “Alkitab tidak bisa diartikan menurut apa yang tidak dimaksudkannya.”
*      Alkitab adalah kitab tentang Allah. Kitab ini bukanlah kitab nasehat rohani tentang “jawaban-jawaban” yang kita butuhkan atas perkawinan yang bahagia, seks, pekerjaan, atau penurunan berat badan. Sekalipun Kitab Suci merefleksikan mengenai isu-isu tersebut, isinya melampaui segala hal tentang siapa Allah dan apa yang Allah pikirkan dan kehendaki. Saya memahami kenyataan hanya jika saya memiliki apresiasi atas siapa Dia dan apa yang Dia inginkan untuk dan dari ciptaanNya.
*      Kita tidak “menjadikan Alkitab relevan” ; kita menunjukkan relevansinya. Kebenaran, serelevan air bagi dahaga dan makanan bagi yang lapar.


Pustaka:
Haddon Robinson, the Art & Craft of Biblical Preaching