DEMAM SELEBRITI

Kalau kita membaca Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, tampaknya orang yang paling berpengaruh dalam masyarakat adalah nabi-nabi. Suara mereka di dengar, penglihatan mereka dipercaya dan nasihat mereka dituruti, malaupun kadang-kadang masyarakat lebih tertarik kepada nabi-nabi palsu ketimbang nabi-nabi yang sejati.  Jika kita membaca buku-buku sejarah, yang paling berpengaruh di dalamnya adalah para pahlawan, yaitu tokoh-tokoh politis yang dengan gagah berani membela rakyatnya dari ancaman musuh. Sekarang, zaman para nabi dan pahlawan sudah berlalu. Siapakah yang paling berpengaruh saat ini? Orang-orang yang disebut selebriti (mereka yang penampilannya menonjol dalam dunia hiburan): para artis, penyanyi, penari, bintang film, bintang sinetron, pemain sepakbola dll. Itu sebabnya banyak orang ingin menjadi selebriti. Lihat panjangnya antrian orang-orang yang melamar dalam cara-acara Indonesian Idol, Indonesia mencari Bakat, Akademi Fantasi Indosiar, Mamamia dan sejenisnya.
Budaya sekarang sering disebut budaya selebritisme. Siapapun yang ingin terkenal dan berpengaruh harus mengikutsertakan selebriti dan bahkan meniru gaya selebriti. Di TV, mulai dari acara diskusi isu-isu sosial sampai Hong Sui melibatkan selebriti. Dalam kampanye pemilu, hampir semua parpol melibatkan selebriti, entah sebagai caleg atau sekadar disewa untuk memeriahkan panggung kampanye. Para pemimpin politik dan calon presiden pun harus belajar acting, supaya bisa tampil menarik dalam iklan kampanye. Mereka harus menjadi selebriti-selebriti politik.
Bukan hanya dunia politik yang dipengaruhi oleh selebritisme, gereja pun juga demikian. Untuk menarik banyak pengunjung, banyak gereja secara rutin mengundang selebriti untuk menyanyi dan memberi kesaksian. Bahkan menurut kabar, tidak sedikit gereja yang pendetanya adalah mantan artis. Biasanya gereja semacam ini laris manis. Entah orang datang berbakti, entah untuk menonton sang artis pendeta.
Selebriti dipuja, dikagumi, dibayar mahal, diimpikan oleh banyak orang. Tetapi banyak selebriti tidak bahagia, sangat banyak yang rumah tangganya berantakan, menjadi pecandu narkoba atau alkohol (anehnya, gereja tidak mencari tahu dulu, kemudian mengundang para selebriti ini), bahkan ada yang bunuh diri. Penyanyi Britney Spears mengungkapkan sisi lain dari kehidupan selebriti yang penuh penderitaan dalam lagunya “Lucky”. Dalam lagu itu dilukiskan betapa banyak orang mengira seorang bintang holywood begitu beruntung, tetapi sebenarnya hidup pribadinya penuh kekosongan dan kesepian.
Yang lebih umum lagi ialah selebriti-selebriti yang frustasi, stress, dan depresi ketika popularitasnya mulai menurun. Para selebriti tidak selamanya dipuja, dikagumi, dibayar mahal, dan diimpikan. Kalau muncul bintang baru, yang lama akan mulai dilupakan. Hubungan selebriti dengan pemuja-pemujanya bisa sangat emosional, tetapi sebenarnya tidak pernah mendalam.
Pada awal pelayananNya, Yesus menarik banyak orang bagaikan seorang superselebriti. Ke mana saja Ia pergi, orang berdesak-desakan mengikuti. Mereka ingin mendengar khotbahNya dan menyaksikan mukjizat-mukjizatNya. Sampai-sampai sulit bagiNya untuk mencari tempat menyepi. Tetapi ketika ternyata pesan yang disampaikanNya tidak begitu cocok dengan selera massa, banyak yang berhenti mengikuti Dia karena kecewa. Apalagi ketika secara politis menjadi berbahaya dekat-dekat dengan Dia, karena penguasa mengincarNya dan merencanakan untuk membunuhNya; ketika menjadi lebih jelas bahwa Yesus tidak lagi punya masa depan, oran mulai menjauh atau mengumpat. Bahkan seorang muridNya sudah mulai memikirkan penghianatan. Bagi orang-orang yang memuja Dia sebagai seorang selebriti, Yesus sudah waktunya digeser dan dilupakan.
Tetapi bagi Maria (Yoh. 12:1-8), Yesus bukan sekedar seorang selebriti. Hubungannya dengan Yesus bukan hubungan antara fans dan idolanya. Maria mengasihi Yesus dengan hati yang tulus. Kekaguman seorang hamba kepada Tuhannya. Kekaguman yang disertai rasa hormat ciptaan kepada Penciptanya. Kasih yang tulus bekerja tidak hanya ketika sang kekasih tampak menawan dan populer, tetapi lebih-lebih ketika ia dalam bahaya dan menghadapi kesulitan. Kasih yang tulus siap tidak hanya untuk menikmati indahnya kehidupan, tetapi juga untuk menghadapi penderitaan, bahkan kematian.
Ketika hubungan yang sangat emosional tetapi dangkal yang dijalin oleh para fans Yesus dengan idolanya tidak lagi bertahan, ketika Yesus tidak dianggap berharga lagi karena sebentar lagi toh Ia akan tinggal sesosok mayat, Maria justru menunjukkan betapa berharganya Yesus bagi dirinya. Setengah kati minyak narwastu yang sangat mahal harganya, dan bahkan harga dirinya sendiri tidak ada artinya dibandingkan dengan diri Yesus, bahkan pada saat sedang menghadapi ancaman maut.
Apa yang dilakukan oleh Maria tidak populer (tidak seperti tindakan kebanyakan pengagum Yesus), tidak sesuai tradisi (menurut tradisi, yang diminyaki kakinya adalah orang mati, bukan orang hidup), dan tidak ekonomis (perhatikan reaksi manajer keuangan Yesus, Yudas!; ). Baik selera masa kini (selebritisme) maupun tradisi (tradisionalisme) ataupun efisiensi (manajerialisme) memang tidak selalu dapat mengungkapkan kasih yang tulus. Kasih Maria kepada Yesus memampukan dia menyambut Yesus secara kreatif dan orisinil.
Sikap dan tindakan Maria pada dasarnya adalah sebuah ibadah kepada Yesus. Ibadah kristen memang dimaksudkan untuk mengungkapkan kasih yang tulus kepada Yesus. Jiwa ini seringkali dilupakan ketika kita terlalu larut dalam kontroversi akhir-akhir ini mengenai masalah peribadatan.
Saat ini terjadi di mana-mana apa yang disebut worship war: pertentangan tentang bentuk ibadah antara kaum tradisionalis dan kelompok selebritis. Tradisionalis ingin agar tradisi peribadatan gereja masa lalu dipertahankan dan, kalau sudah lama dilupakan, dihidupkan kembali. Selebritis ingin agar ibadah lebih kontemporer agar sesuai dengan selera seni yang sedang disukai orang banyak. Masing-masing punya alasan yang sama kuatnya. Yang satu ingin setia kepada tradisi, yang lain mau tanggap terhadap perubahan budaya.
Tetapi ibadah adalah untuk jemaat, bukan jemaat untuk ibadah! Karena itu yang penting sebenarnya adalah apakah suatu bentuk ibadah dapat menolong jemaat untuk mengungkapkan kasih yang tulus kepada Yesus. Ibadah yang dibangun sekadar untuk melayani tradisi akan menjadi sekadar ritual kosong, demikian pula ibadah selebritisme yang semata-mata dibuat untuk memuaskan selera massa, tidak lebih dari sebuah permainan emosi yang dangkal.
Jika kita beribadah untuk mengungkapkan kasih yang tulus kepada Yesus, ibadah kita mungkin bisa menyimpang dari tradisi, atau bisa saja berbeda dengan selera massa, tetapi ibadah itu akan kreatif, dinamis dan orisinil. Seperti dijelaskan Paulus dalam Filipi 3, tradisi maupun selera massa tidak dapat menampung jiwa ibadah yang sejati.
Firman Tuhan dalam Yohanes 12:1-8 ini seringkali dipakai untuk membenarkan jenis spiritualitas yang mengabaikan kepedulian sosial. Seolah-olah di sini Yesus mengutamakan ibadah kepadaNya di atas pelayanan kepada orang miskin. Seolah-olah sah-sah saja menghabiskan anggaran yang luar biasa besarnya untuk membangun gedung gereja dan membuat acara-acara kolosal, dan tidak sesen pun untuk program kemanusiaan. Tetapi bukan itu yang dimaksud dalam bagian ini.
“orang miskin selalu ada padamu” berarti: selalu ada kesempatan untuk menolong orang miskin. Tetapi yang pertama-tama perlu dimiliki adalah hati yang mengasihi Yesus. Yudas memang mengangkat isu pentingnya menolong orang miskin ketimbang membuang-buang minyak yang mahal itu. Pertimbangan Yudas ini bukan hanya populer (pasti disambut oleh banyak orang), tetapi juga sesuai dengan tradisi sosial orang Yahudi, dan tentu berdasarkan asas manajemen yang efisien. Tetapi hati Yudas bukan hati yang mengasihi, karena itu Firman Tuhan menjelaskan bahwa Yudas tidak bersungguh-sungguh ingin menyumbangkan kepada orang miskin, kalau toh minyak wangi itu dijual dan uangnya dipercayakan kepadanya. Nasib orang miskin sering dijual dan didramatisasi untuk mendapatkan dana, yang kemudian lebih banyak dipakai untuk kepentingan lain.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa kepedulian terhadap orang miskin merupakan bagian iman Kristen dan menjadi ciri pelayanan Kristen selama berabad-abad. Tetapi bagi kita, pelayanan ini bukan sekadar tradisi, bukan pula sekadar ikut arus demi popularitas, seperti yang dilakukan parpol-parpol dalam rangka kampanye. Pelayanan kemanuasiaan Kristen adalah wujud dari ibadah kita – ungkapan dari kasih yang tulus kepada Yesus Kristus Tuhan kita.
PUSTAKA
ALKITAB (LAI) 
Kemarahan, Keramahan & Kemurahan ALLAH (Yahya Wijaya, Ph.D.)

Pandangan Tentang Orang-Orang Raksasa dalam Kejadian 6:4


Benarkah ada raksasa dalam Alkitab seperti yang dikatakan Kej 6:4? Kok kelihatannya seperti cerita-cerita dongeng? heheeeee.......” Ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat bagus dan saya kira menjadi pertanyaan banyak orang. Dalam pelayanan, beberapa kali dipertemukan dengan orang-orang yang menanyakan hal ini. Benarkah ada raksasa dalam Alkitab? Bukankah cerita tentang keberadaan raksasa dalam Alkitab memberi kesan bahwa Alkitab tidak lebih dari sekedar buku dongeng saja? Mari kita pelajari Alkitab dengan baik......

Siapakah Anak-Anak Allah?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut baiklah kita melihat Kejadian 6:2 : “maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil istri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka”. Pertanyaan kita sekarang adalah “Siapakah anak-anak Allah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut?” “Dan siapakah anak-anak perempuan manusia yang diambil menjadi isteri oleh anak-anak Allah itu?”
Terhadap pertanyaan ini, telah muncul banyak pandangan/tafsiran. Ada yang mengatakan bahwa ‘anak-anak Allah’ itu adalah orang yang berkedudukan tinggi, sedangkan ‘anak-anak perempuan manusia’ adalah orang yang berkedudukan rendah. Jadi saat itu terjadi perkawinan antara orang-orang yang berkedudukan tinggi dan orang-orang yang berkedudukan rendah. Tetapi harus diakui bahwa tidak ada dasar bagi penafsiran seperti itu, karena dalam Kitab Suci memang kata-kata itu (anak-anak Allah dan anak-anak perempuan manusia) tidak pernah diartikan sebagai orang-orang yang berkedudukan tinggi dan rendah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa ‘anak-anak Allah’ di sana adalah malaikat, sedangkan ‘anak-anak perempuan manusia’ adalah manusia. Jadi di sini dianggap terjadi perkawinan antara malaikat dan manusia. Ada 3 hal yang dianggap mendukung pandangan ini :
(1) Malaikat sering disebut ‘anak Allah’ misalnya Ayub 1:6 : “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datanglah juga Iblis’. Ayub 2:1 : “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datang juga Iblis untuk menghadap TUHAN’ (lihat juga Ayub 38:7; Daniel 3:25,28).
(2) 2 Pet 2:4 & Yudas 4 dianggap menunjuk pada saat ini. Yudas 4 berbunyi : ‘Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah masuk menyelusup di tengah-tengah kamu, yaitu orang-orang yang telah lama ditentukan untuk dihukum. Mereka adalah orang-orang yang fasik, yang menyalahgunakan kasih karunia Allah kita untuk melampiaskan hawa nafsu mereka, dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Yesus Kristus’ sedangkan 2 Pet 2:4 berbunyi : “Sebab jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman’. Frase ‘malaikat-malaikat yang berbuat dosa’ ditafsirkan sebagai malaikat-malaikat yang mengawini anak-anak perempuan manusia seperti kata Kejadian 6 :2. Namun demikian sepertinya tafsiran semacam ini terlalu dipaksakan. Selain Yudas 4 yang tidak membicarakan fakta itu secara langsung, frase ‘malaikat-malaikat yang berbuat dosa’ dalam 2 Pet 2 :4 sebenarnya menunjuk pada kejatuhan pertama dari malaikat, bukan perkawinan malaikat.
(3) Dari perkawinan ini lahir ‘raksasa’ (Kej 6:4). Pendapat ini mengatakan bahwa karena perkawinan dalam Kej 6 :2 adalah perkawinan antara malaikat dan manusia maka mereka melahirkan keturunan-keturunan yang aneh yang menjadi raksasa-raksasa seperti yang dikatakan Kej 6 :4.
Meskipun penafsiran semacam ini menarik namun ternyata ada hal-hal yang tidak memungkinkan pandangan ini. Pertama, Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa malaikat tidak kawin. Mat 22:30 : ‘Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga’. Dari ayat ini saja sebenarnya tafsiran di atas sudah harus gugur. Kedua, Di dalam Kej 6 :2 dikatakan bahwa anak-anak Allah itu ‘mengambil istri’, bukan sekedar melakukan hubungan seks. Ini lebih-lebih tidak mungkin dilakukan oleh malaikat. Ketiga, Dalam Kej 6 :3,6,7 yang dihukum adalah manusianya saja, malaikatnya tidak. Kej 6 :3,6,7 : (3)Berfirmanlah TUHAN: “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja.” (6) maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. (7) Berfirmanlah TUHAN: “Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka.” Kalau ‘anak-anak Allah’ itu adalah malaikat, seharusnya mereka juga dihukum oleh Allah. Selain itu pendapat yang mengatakan bahwa karena malaikat kawin dengan manusia maka melahirkan keturunan-keturunan raksasa juga adalah penafsiran yang keliru.

Kalau memang ‘anak-anak Allah’ dalam Kej 6 :2 bukanlah orang-orang berkedudukan tinggi, bukan juga para malaikat, lalu siapa mereka? Saya percaya bahwa ‘anak-anak Allah’ di sana menunjuk kepada orang percaya (keturunan Set), sedangkan ‘anak-anak perempuan manusia’ menunjuk kepada orang yang tidak percaya (keturunan Kain/orang-orang di luar keturunan Set). 
Dasar dari pandangan ini adalah :
Pertama, Orang percaya memang selalu disebut ‘anak Allah’ seperti Ul 14 :1 : “Kamulah anak-anak TUHAN, Allahmu; janganlah kamu menoreh-noreh dirimu ataupun menggundul rambut di atas dahimu karena kematian seseorang’, Ul 32:5,6 : ‘Berlaku busuk terhadap Dia, mereka yang bukan lagi anak-anak-Nya, yang merupakan noda, suatu angkatan yang bengkok dan belat-belit. Demikianlah engkau mengadakan pembalasan terhadap TUHAN, hai bangsa yang bebal dan tidak bijaksana? Bukankah Ia Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau? Dan masih banyak ayat lainnya seperti Yes 1:2,3 ; Hos 1:10; Yoh 1:12; 1 Yoh 3:1, dll.
Kedua, Penafsiran ini lebih cocok dengan konteks. Manusia mula-mula satu kesatuan, lalu memecah menjadi dua yaitu keturunan Kain (Kej 4) dan keturunan Set (Kej 5), tetapi sekarang dalam Kej 6 membaur lagi.
Ketiga, Keturunan Set disebut ‘anak Allah’. Ini sesuai dengan kata-kata Hawa waktu Set dilahirkan (Kej 4:25). Jadi ‘anak-anak Allah’ dalam Kej 6:2 menunjuk kepada keturunan orang benar (keturunan Set) dan ‘anak-anak perempuan manusia’ menunjuk kepada orang-orang berdosa (keturunan Kain). Dengan demikian Kej 6:2 memperlihatkan kepada kita terjadinya perkawinan campur generasi waktu itu tanpa mempedulikan masalah iman bahkan mungkin tanpa mempedulikan masalah cinta karena “…mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka.
Demikian penjelasan di sekitar masalah ‘anak-anak Allah’ dalam Kej 6:2 dan dengan demikian jelas tidak ada kaitan antara manusia raksasa dalam Kej 6:4 dengan pekawinan ‘anak-anak Allah’ dengan anak-anak perempuan manusia’ dalam Kej 6:2.

Orang-orang raksasa
Di atas telah dijelaskan bahwa tafsiran yang mengatakan bahwa ‘anak-anak Allah’ menunjuk kepada malaikat dan dengan demikian telah terjadi perkawinan antara malaikat dan manusia yang melahirkan keturunan-keturunan yang menjadi raksasa-raksasa adalah tafsiran yang tidak tepat, lalu kalau begitu siapakah raksasa-raksasa ini? Bagaimana mereka bisa muncul? Bukankah cerita tentang adanya manusia raksasa hanya ada dalam dongeng? Dan jika benar, apakah Alkitab juga hanya menceritakan dongeng belaka?
Sebelum menjelaskannya, mari kita lihat Kej 6:4 : “Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan”. Kata “raksasa” di sini, di dalam Alkitab King James Version (KJV) disebut ‘giants’ (raksasa) sedangkan di dalam Revised Standard Version (RSV), New International Version (NIV) dan New American Standard Bible (NASB) diterjemahkan sebagai ‘the Nephilim’. ‘The Nephilim’ ini sebenarnya bukanlah terjemahan tetapi transliterasi (kata Ibraninya ditulis kembali dengan huruf Latin). Yang menarik adalah terjemahan KJV yang memakai kata ‘giants’ (raksasa). Terjemahan ini timbul karena diambil dari Septuaginta/LXX (Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani) yang menerjemahkan kata tersebut dengan “GIGANTES”. Selain itu kata ini dihubungkan dengan Bil 13:33 yang dalam versi NIV diterjemahkan sebagai berikut : “We saw the Nephilim there (the descendants of Anak come from the Nephilim). We seemed like grasshoppers in our own eyes, and we looked the same to them” = “Kami melihat orang-orang Nephilim di sana (keturunan Enak datang/muncul dari orang Nephilim). Kami kelihatan seperti belalang dalam mata kami sendiri, dan kami kelihatan sama bagi mereka”. Terjemahan ini memang menunjukkan bahwa orang Nephilim itu pasti sangat besar / raksasa.
Meskipun demikian, sebenarnya ada kemungkinan penafsiran yang lain dari teks ini. Pdt. Budi Asali dalam bukunya ‘Eksposisi Kitab Kejadian’ mengatakan bahwa kata bahasa Ibrani “NEPHILIM” yang dipakai dalam Kej 6:4 (yang oleh LAI diterjemahkan raksasa) sebenarnya berasal dari akar kata “NAPHAL” yang bisa berarti : (1) “to fall’ (jatuh). Mungkin semua orang yang bertemu mereka jatuh tersungkur karena takut kepada mereka. (2)‘to fall upon / to attack’ (menyerang). Dengan arti ini, “NEPHILIM” kelihatannya bisa berarti penyerang, bandit, perampok. Kedua arti ini bisa digabungkan di mana “NEPHILIM” menunjuk kepada perampok-perampok yang ditakuti orang. Menurut pendapat saya penafsiran ini lebih cocok dengan konteks dibandingkan dengan penafsiran di atas yang mengatakan bahwa “NEPHILIM” adalah raksasa. Konteks Kejadian pasal 6 ini berbicara soal dosa manusia secara moral. Kalau tiba-tiba ayat 4 ini berbicara tentang ukuran tubuh, itu tidak sesuai dengan konteks atau tidak berhubungan dengan konteks. Tetapi kalau NEPHILIM diartikan perampok, penyerang, bandit, maka itu sesuai dengan konteks Kejadian pasal 6 di mana di dalam ayat 4 juga dikatakan bahwa : “…inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan”. “Orang-orang yang gagah perkasa” di sini menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan fisik atau kepandaian berkelahi yang hebat sedangkan “orang-orang kenamaan” menunjukkan bahwa mereka terkenal karena jahatnya. Jadi, arti Kej 6:4 seluruhnya ialah bahwa pada waktu itu sudah ada perampok-perampok, tetapi lalu dengan adanya perkawinan campuran antara orang percaya dan orang tidak percaya, lalu lahir lagi orang-orang yang sejenis dengan perampok-perampok itu. Jadi, perkawinan campuran itu menyebabkan orang berdosa makin banyak! Dengan demikian sesuai dengan analisa kata dan konteks, saya percaya bahwa Kej 6:4 tidak berbicara tentang ukuran tubuh (raksasa-raksasa) melainkan kepada kebobrokan moral pada saat itu.

Raksasa di seluruh Alkitab
Meskipun kesimpulan di atas telah saya buat (khusus Kej 6:4), namun harus diakui bahwa di dalam PL juga ada cukup banyak ayat yang berbicara tentang adanya manusia-manusia raksasa. Misalnya dalam Bil 13:33 : “Juga kami lihat di sana orang-orang raksasa, orang Enak yang berasal dari orang-orang raksasa, dan kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami.” 2 Sam 21:16 : ‘Yisbi-Benob, yang termasuk keturunan raksasa — berat tombaknya tiga ratus syikal tembaga dan ia menyandang pedang yang baru — menyangka dapat menewaskan Daud’. 2 Sam 21:18 : ‘Sesudah itu terjadi lagi pertempuran melawan orang Filistin di Gob; pada waktu itu Sibkhai, orang Husa, memukul kalah Saf, yang termasuk keturunan raksasa. (Band. 1 Taw 20 :4). 2 Samuel 21:20 : ‘Lalu terjadi lagi pertempuran di Gat; dan di sana ada seorang yang tinggi perawakannya, yang tangannya dan kakinya masing-masing berjari enam: dua puluh empat seluruhnya; juga orang ini termasuk keturunan raksasa. (Band. 1 Taw 20:6). 2 Samuel 21:22 : ‘Keempat orang ini termasuk keturunan raksasa di Gat; mereka tewas oleh tangan Daud dan oleh tangan orang-orangnya’ (Band.1 Taw 20:8) . Dari konteks ayat-ayat di atas, kelihatannya istilah “raksasa” menunjuk pada ukuran tubuh yang sangat besar. Misalnya di Bil 13:3, kata “raksasa” di sana menggunakan kata Ibrani “NEPHILIM”. Mayoritas terjemahan Alkitab tetap memakai kata “NEPHILIM” (ASV, BBE, ESV, CEV, GW, JPS, RV). Yang lain menerjemahkannya dengan “GIANTS” atau raksasa (KJV, Darby, Genewa Bible, LAI) sedangkan ada juga yang menerjemahkannya sebagai “MONSTERS” (DRB). Jika kita melihat konteks ayat ini di mana dikatakan bahwa : “…kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami” memang kelihatannya menunjuk pada ukuran tubuh yang sangat besar. Juga misalnya 2 Sam 21 :16, kelihatannya menunjuk pada ukuran tubuh yang besar dibandingkan dengan ukuran tombaknya.

Apakah dongeng ?
Kalau di dalam Alkitab ada cerita tentang raksasa-raksasa, berarti Alkitab tidak lebih daripada sekedar sebuah buku dongeng bukan? Tunggu dulu ! Hal pertama yang harus dipikirkan adalah asumsi dasar dari pertanyaan ini. Mengapa atau apa dasarnya mengatakan bahwa raksasa itu adalah sebuah dongeng? Saya kira asumsi ini muncul karena teralu banyak membaca buku dongeng atau menonton film-film kartun yang bercerita tentang raksasa seperti ‘Hulk Si Perkasa’, dll. Mana yang ada lebih dahulu? Alkitab atau buku-buku dongeng tentang raksasa ? Alkitab atau film kartun? Ya jelas Alkitab! Maka kalau boleh dikatakan, bukanlah Alkitab yang meniru buku-buku dongeng itu tapi buku-buku dongeng itu yang meniru Alkitab tapi jika tidak mau dikatakan demikian maka yang bisa dikatakan adalah Alkitab tidak sama dengan dongeng hanya karena ada raksasa-raksasa dalam cerita dongeng. Ingat, Alkitab lebih dulu ada daripada semua dongeng itu. Selain dari itu, saya kira pemikiran semacam itu muncul dari pemahaman kita terhadap kata “raksasa” itu sendiri. Kita terlanjur berasumsi bahwa ‘raksasa’ itu adalah dongeng maka ketika menemukan ada ‘raksasa’ di Alkitab, kita langsung mengklaimnya sebagai dongeng. Mungkin kata ‘raksasa’ ini harus dipahami sebagai suatu ukuran tubuh yang lebih besar daripada orang kebanyakan yang disebabkan oleh mutasi kromosom secara permanen yang diakui dalam dunia medis.

Kesimpulan
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa raksasa-raksasa yang dibicarakan di dalam Alkitab menunjuk pada ukuran tubuh yang lebih besar dari orang kebanyakan (kecuali Kej 6 :4 yang memang secara arti kata dan konteks tidak dapat diartikan sebagai ukuran tubuh). Ini bukan dongeng tetapi fakta. Pikiran bahwa itu adalah dongeng timbul dari asumsi yang salah terhadap istilah ‘raksasa’ itu sendiri. Jadi sekali lagi Alkitab bukan atau tidak sama dengan cerita dongeng.

Mencermati Pandangan Gap Theory


Apakah Gap Theory secara Biblikal bisa dibenarkan? Ini perlu di selesaikan. Semoga artikel ini bisa menjawabnya. Salah satu peristiwa paling penting yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap hubungan antara teologi (gereja) dan ilmu pengetahuan adalah penemuan Teori Heliosentris oleh Copernicus pada abad ke-16 dan selanjutnya diteguhkan serta dipopulerkan oleh Galileo Galilei. Mereka menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya dan planet lain bergerak mengelilingi matahari. Pandangan ini jelas berbeda dengan pandangan gereja waktu itu yang mengajarkan konsep geosentris (bumi adalah pusat, sedangkan matahari dan planet lain mengelilingi bumi). Pandangan gereja ini didasarkan pada penafsiran terhadap beberapa ayat yang memang memberi kesan seakan-akan matahari yang bergerak, misalnya Yosua 10:12-13, Mazmur 19:5-6. Perseteruan antara teologi (gereja) dan sains ini semakin lama semakin tajam. Situasi ini terus memicu beragam sikap orang Kristen terhadap sains. Pada masa pencerahan (enlightenment), orang melihat dua bidang ini sebagai dua hal yang tidak bisa diharmonisasikan. Pada masa itu pemisahan total (dualisme) antara iman dan rasio, teologi dan filsafat, Alkitab dan sains mencapai puncaknya. Apa yang benar secara metafisika dianggap tidak berkaitan dengan kebenaran fisika. Di sisi lain sebagian orang Kristen tetap berusaha mengharmonisasikan dua hal tersebut. Tidak jarang mereka mengubah penafsiran Alkitab tradisional supaya harmonis dengan sains. Beberapa usaha ini ternyata lebih tepat, tetapi tidak sedikit yang melenceng dari kebenaran. Salah satu usaha harmonisasi yang tidak tepat adalah tafsiran yang mengatakan adanya dua penciptaan bumi. Hal ini dianggap bisa menyelesaikan perdebatan tentang usia bumi yang sangat tua berdasarkan analisa geologis. Pandangan yang menganggap ada jarak waktu yang panjang antara bumi yang pertama dengan bumi yang kedua disebut dengan istilah Gap Theory (Teori Jarak). Dari sisi biblikal, penganut teori ini berpendapat bahwa sebelum penciptaan alam semesta pada Kejadian 1:3-31, Allah pernah menciptakan alam semesta lain (Kej 1:1-2). Alam semesta yang pertama diciptakan telah rusak akibat kejatuhan iblis. Dengan kata lain, Kejadian 1:3-31 dianggap sebagai penciptaan ulang. Mengapa mereka menafsirkan Kejadian 1:1-2 seperti itu? Apakah pandangan ini bisa diterima?

Argumentasi yang mendukung Gap Theory
Penganut Gap Theory biasanya memakai beberapa argumentasi berikut untuk mendukung pandangan mereka. Pertama, mereka menafsirkan kata Ibrani hayah di Kejadian 1:2 dengan “menjadi”, bukan “adalah”, sehingga terjemahan ayat 2 yang dianggap tepat adalah “bumi menjadi belum berbentuk dan kosong”. Untuk mendukung pandangan ini, mereka menunjukkan beberapa ayat dari Kitab Kejadian yang juga memakai hayah dengan arti “menjadi”, misalnya: 3:20 “Hawa menjadi (hayah) ibu dari semua yang hidup” 21:20 “(Ismael)… menjadi (hayah) pemanah” 37:20 “Kita akan melihat apa yang akan terjadi (hayah) dengan mimpinya”. Seandainya terjemahan ini benar, ayat 2 menyiratkan adanya suatu peristiwa khusus yang menyebabkan bumi menjadi kacau (belum berbentuk dan kosong, gelap gulita). Alasan lain yang dikemukakan untuk mendukung Gap Theory berhubungan dengan penafsiran kata Ibrani tohu di Yesaya 45:18. Ayat ini menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan bumi menjadi tempat yang kosong (tohu). Bagaimana mungkin ada bumi yang belum berbentuk (tohu, kata Ibrani yang juga dipakai di Kej 1:2), sedangkan Allah tidak menciptakan bumi yang tohu? Keadaan bumi yang belum berbentuk (tohu) di Kejadian 1:2 menunjukkan bahwa ada sesuatu yang telah terjadi pada bumi tersebut. Masih berkaitan dengan dua penjelasan di atas, penganut Gap Theory berpendapat bahwa penafsiran di atas lebih sesuai dan berguna dalam menjelaskan kejatuhan iblis di Yesaya 14:10-14 dan Yehezkiel 28. Dua teks ini merupakan teks yang secara tradisional dipahami sebagai penjelasan terhadap kejatuhan iblis. KJV bahkan menerjemahkan “bintang timur” di Yesaya 14:12 dengan “Lucifer”. Mereka menganggap bahwa pembuangan iblis dari surga ke bumi telah menyebabkan kerusakan yang hebat, sehingga bumi menjadi kacau.

Sanggahan terhadap Gap Theory
Walaupun alasan-alasan yang dikemukakan penganut Gap Theory terkesan masuk akal, namun masih memiliki banyak kelemahan yang mendasar. Dalam frase yang menunjukkan suatu keadaan (disebut dengan istilah circumstantial clause), kata Ibrani hayah dalam tense perfect seringkali menunjukkan keadaan yang statis. Dengan kata lain, hayah dalam konteks seperti ini seharusnya diterjemahkan “adalah” atau “berada”, bukan “menjadi”. Hal ini bisa dilihat dari beberapa bagian Alkitab yang lain, misalnya Kejadian 3:1 “ular adalah (hayah) lebih cerdik”, Kejadian 29:17 “Rahel adalah (hayah) cantik dan menarik”, Kejadian 34:5 “anak-anaknya sedang berada (hayah) di padang”, Keluaran 1:5 “Yusuf berada (hayah) di Mesir”, Yunus 3:3 “Niniwe adalah (hayah) sebuah kota yang besar”. Penafsiran mereka terhadap kata tohu di Yesaya 45:18 juga perlu dipertanyakan. Kata tohu di ayat ini tidak mengindikasikan kehancuran atau kekacauan. Di ayat ini tohu dikontraskan dengan “didiami”, sehingga tohu sini pasti berarti “ketidakadaan/kesunyian” (ayat 18 “...bukan supaya kosong tetapi...untuk didiami”). Berdasarkan hal ini, kata tohu yang juga muncul lagi di ayat 19 (KJV/ASV/NIV/LAI:TB “dengan sia-sia”) sebaiknya diterjemahkan dengan arti “tanah terbuang” (= “tidak bisa didiami”; NASB/BBE). Dalam konteks Kejadian 1, kita sebaiknya memahami tohu sebagai rujukan pada keadaan bumi yang belum siap didiami oleh manusia. Hal ini terlihat dari permainan bunyi dalam bahasa Ibrani antara tohu (“belum berbentuk”) dan tob (“baik”). Setelah Allah melakukan rangkaian penciptaan di ayat 3-31, bumi tidak lagi tohu (belum berbentuk), tetapi sudah menjadi tob (“baik”, ayat 4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). Bagaimana dengan kejatuhan iblis? Sebagian besar penafsir modern semakin yakin bahwa Yesaya 14:10-14 dan Yehezkiel 28:1-10 tidak merujuk pada kejatuhan Iblis. Dua teks tersebut merupakan nubuat tentang kejatuhan raja Babel (Yes 14:4) dan Tirus (Yeh 28:1-2) yang telah berbuat jahat dan menyombongkan diri. Seandainyapun dua teks ini “memang” merujuk pada kejatuhan Iblis, keduanya tetap tidak memberi dukungan apa-apa untuk Gap Theory, karena tidak ada indikasi dalam teks bahwa Iblis dibuang ke bumi (apalagi sampai membuat bumi rusak). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis puisi dari dua teks ini, sehingga keduanya tidak bisa ditafsirkan secara hurufiah.
Alkitab bagian lain memang memberikan beberapa petunjuk tentang kejatuhan Iblis ke bumi (Luk 10:18; Why 12:9, 12), namun teks-teks itu hanya merujuk pada kekalahan Iblis melalui karya Kristus, bukan kejatuhan Iblis sebelum dunia dijadikan. Teks-teks itu juga tidak menjelaskan pengaruh kejatuhan Iblis secara fisik terhadap bumi. Selain itu, sulit dimengerti mengapa kejatuhan Iblis yang secara natur adalah makhluk roh bisa membawa dampak fisik secara langsung berupa kehancuran bumi (walaupun Iblis memang memiliki potensi untuk menciptakan kerusakan fisik pada bumi kalau diijinkan Allah). Kehancuran bumi, seandainya memang pernah terjadi, merupakan peristiwa yang sangat besar, sehingga sangat janggal apabila Alkitab tidak pernah menyinggung hal tersebut secara eksplisit. Sebagai perbandingan, Alkitab mencatat peristiwa pemusnahan bumi melalui air bah (Kej 6:9-7:24). Dalam cerita ini dijelaskan bahwa alasan Allah menghukum bumi adalah karena kejahatan manusia yang sudah terlalu besar (Kej 6:5-7, 13). Setelah penghukuman ini Allah berjanji untuk tidak memusnahkan bumi lagi (Kej 8:21-22; 9:8-17). Kalau Allah sendiri hanya membinasakan bumi karena dosa yang begitu besar, bagaimana mungkin Ia membiarkan “bumi yang lama” hancur hanya gara-gara kejatuhan Iblis?

Semoga Artikel ini menambah wawasan kita serta membawa kita untuk semakin mengasihi Tuhan dan percaya akan kebenaran Alkitab.

Pernyataan Evolusionisme Tentang Umur Bumi

Umur Bumi 4,6 milyar tahun.
Apa pandangan ini benar?
Evolusionisme mengatakan umur bumi sekitar 4,6 milyar tahun.  Hal ini diperoleh melalui penelitian ilmiah umur lapisan tanah, fosil-fosil dan  berdasarkan kecepatan degradasi radioisotop. Morris, seperti dikutip oleh Panjaitan mencoba menyusun 50 metode penghitungan umur bumi. (1) Dari tabel tersebut terlihat dengan jelas hasil yang terlalu bervariasi, mulai dari ratusan tahun sampai ribuan juta tahun. Penelitian ini didasarkan pada pandangan uniformitarianisme, yaitu merupakan paham yang pada mulanya berbicara mengenai teori asal mula dimana penciptaan terjadi melalui suatu proses yang berlangsung sampai sekarang dan ini merupakan penjelasan yang memadai untuk menjelaskan seluruh perubahan geologi. (2) Pandangan ini menjelaskan bahwa sampai saat ini hukum-hukum alamiah dan proses-prosesnya tidak pernah diganggu oleh campur tangan Allah secara supranatural sehingga mengakibatkan kerusakan total terhadap bumi. Oleh karena tidak pernah terjadi inkonsistensi hukum alam dalam sejarah di masa lampau, maka tidak ada alasan untuk takut akan terjadi inkonsistensi hukum alam pada masa yang akan datang. (3) Beberapa di antara metoda evolusionis yang mengatakan umur bumi tua di antaranya sebagai berikut:
1. Kecepatan Pendinginan Bumi
Upaya yang pertama untuk mengukur umur bumi dari kecepatan pendinginan bumi diberikan oleh seorang ilmuwan yang terkenal yaitu Newton.  Dengan asumsi keadaan awal bumi sebagai benda yang seluruhnya panas seperti matahari.  Dengan asumsi itu, beliau menghitung waktu yang diperlukan untuk bumi ini mendingin sampai suhu sekarang secara teori.  Melalui penghitungan tersebut, beliau memastikan umur bumi 50.000 tahun.
G. Buffon yang mengikuti teori Newton juga menghitung umur bumi dengan asumsi dan metoda yang sama. Buffon memikirkan bahwa ketika sebuah bintang berekor melewati matahari di tempat yang berjarak cukup dekat, interaksi gaya gravitasinya mengambil sebagian materi dari matahari dan kemudian bagian yang terpisah itu menjadi bumi.  Dengan demikian maka bumi mempunyai keadaan awal  yang sama dengan matahari.  Dengan berulang kali melakukan percobaan untuk  mengukur kecepatan pendinginan suhu dengan mempergunakan bermacam-macam bola yang jari-jarinya berbeda dan yang mempunyai keadaan awal panas putih. Beliau menghitung waktu yang diperlukan sampai dia dapat menyentuh bola itu secara langsung dengan tangannya. Berbagai bola diuji dan hasil percobaan itu diekstrapolasikan sampai ukuran bumi, sehingga mendapatkan umur bumi 74.832 tahun.
Setelah G.Buffon, salah seorang ahli fisika yang terkenal yang berasal dari Inggris, Lord Kelvin (Nama aslinya William Thomson, 1824-1927) menghitung umur bumi dengan asumsi bahwa mula-mula bumi ini berbentuk bola api yang suhunya identik baik di atas permukaan bumi maupun di dalamnya. Melalui penghitungan ini, Kelvin meyakini umur bumi antara 25 juta tahun sampai 100 juta tahun.
Kelemahan metode penelitian di atas terletak pada persyaratan atau asumsi yang tidak jelas.  Karena ketidakjelasan asumsi, walaupun cara ini dianggap baik secara ilmiah, maka hasilnya tidak dapat diterima sebagai yang benar.

2. Berdasarkan Konsentrasi Garam di dalam Air Laut
Penghitungan umur bumi berdasarkan konsentrasi garam di dalam air laut didasarkan pada asumsi bahwa mula-mula air laut bersifat air tawar.  Orang yang mengemukakan metoda ini adalah Edmund Halley (1656-1722) yang lebih dikenal dengan penemuan bintang berekor yang bernama ’Halley’.  Pada waktu beliau mengemukakan prinsip itu, karena belum ada data yang tepat maka umur bumi belum dapat dihitung. Selanjutnya Daniel Livingstone menghitung umur lautan dari informasi tentang masuk dan keluarnya ion Natrium.  Jumlah Natrium yang terlarut di dalam lautan diestimasikan 1,41×1016 ton. Kalau konsentrasi garamnya lebih dari banyaknya garam yang terdapat dalam bentuk ion di dalam laut, sebagian besar ion itu dapat tenggelam dan terbentuk/tertimbun dalam bentuk garam di bawah laut.  Timbunan garam itu dapat dikembalikan ke daratan melalui gerak tanah bumi dan sebagian menjadi batu garam.  Semua garam tersebut jumlahnya diestimasikan 2,76×1016 ton sedangkan garam yang masuk ke dalam laut pertahun 2,39×108 ton.  Jadi Livingstone memperkirakan umur bumi sekitar 100 juta tahun. Tetapi pada waktu itu, ternyata umur batu yang paling lama dikenal sebagai umur batu Kambrian adalah berumur 500 juta tahun.  Oleh karena itu, Livingston menghitung umur laut sekali lagi dengan asumsi bahwa banyak garam yang dikembalikan dari laut ke darat oleh kabut laut dan ekspansi tanah di bawah laut, akhirnya dia memperoleh umur laut 500 juta tahun.
Namun, cara yang demikian mendapat masalah yang fundamental yaitu seandainya bumi ini mempunyai jumlah Natrium 27.6×1015 ton dan mula-mula lautan di bumi merupakan air tawar, semua natrium itu terdapat di atas daratan.  Kalau kita menghitung jumlah Natrium itu sebagai banyaknya garam, garam itu menutupi seluruh bumi setebal lebih dari 200 m.  Jikalau banyaknya garam yang masuk ke dalam laut diletakkan di atas daratan maka tebalnya bisa mencapai 700 m.  Artinya daratan harus merupakan tanah garam.  Dengan demikian, pasti asumsi bahwa mula-mula air laut adalah air tawar itu salah.

3. Berdasarkan Carbon C-14
Metode C-14 radioaktif merupakan satu-satunya cara yang sedang digunakan secara ilmiah selain cara sejarah atau arkeologi untuk menghitung umur bumi.  Prof. Williard F. Libby yang menemukan metode ini telah mendapatkan hadiah Nobel. Metode tersebut berdasarkan beberapa asumsi.  
Yang pertama, sinar kosmik menumbuk N-14, sehingga C-14 terbentuk dari interaksinya.  Yang kedua, C-14 yang terbentuk tertimbun di dalam makhluk hidup melalui pernafasan hewan dan/atau fotosintesis tumbuhan.  Yang ketiga, jika makhluk hidup yang telah mengandung C-14 mati, maka proses penimbunan C-14 itu berhenti dan C-14 akan mengalami proses penghancuran.  Yang keempat, banyaknya C-14 yang ada di dalam makhluk hidup pada zaman sekarang sama dengan makhluk hidup pada zaman dahulu.  Yang kelima, waktu paruh C-14 itu dianggap stabil, sehingga waktu paruh 5.700 tahun untuk C-14 dapat diterima sebagai konstanta.  Jika beberapa asumsi ini dapat diterima, maka kita dapat menghitung umur hidup sampai 80 ribu tahun.
Metode ini mengandung beberapa kesalahan.  Yang pertama, apakah sinar kosmik dapat menghasilkan C-14 yang banyaknya tetap konstan baik pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang?  Yang kedua, apakah waktu paruh C-14 itu telah diukur dengan teliti?  Yang ketiga, apakah kecepatan penghancuran C-14 itu dapat dianggap konstan terhadap waktu?  Yang keempat, apakah tidak ada kontaminasi bahan uji?  Yang kelima, apakah kita dapat menganggap banyaknya N-14 dalam udara itu sebagai konstanta, yaitu tidak tergantung pada zaman tertentu?  Yang keenam, apakah hasil C-14 itu selalu memberikan hasil yang sama? Pada prinsipnya, cara C-14 itu dapat diterima sebagai cara yang benar, namun karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat ditentukan maka metoda C-14 dianggap mempunyai masalah.

4. Berdasarkan Radioisotop
Salah satu metode penghitungan umur bumi berdasarkan Radioisotop adalah metoda K-Ar, Th-Pb, Rb-Sr. Dengan menggunakan metode K-40/Ar-40 dan U-238/Pb-206 (kedua metode ini dianggap dapat dipakai untuk mengukur umur sampai dengan 3 milyar tahun), batuan cair (lava) yang terbentuk dari letusan gunung api di Hawai pada sekitar 200 tahun yang lalu dan beberapa batu cair lain diujicoba dengan teliti. Umur batu itu terhitung sampai beberapa milyar tahun. Dengan metoda U-238/Pb-206 dan Th-232/Pb-206, umur bumi dihitung 2 juta tahun sampai dengan 28 milyar tahun.
Metode ini memiliki kelemahan karena menggunakan asumsi-asumsi yang hampir sama dengan asumsi-asumsi metode C-14 sehingga metoda ini tidak dapat terhindar dari kesalahan yang besar.
Jadi, setelah memperhatikan berbagai metode penghitungan umur bumi di atas dan berbagai metode lainnya yang terus berkembang maka dapat diambil kesimpulan bahwa metode penghitungan umur bumi dan hasilnya seperti yang dipaparkan di atas adalah tidak tepat. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal:
  1. Metode sedimetansi dan desintegrasi radioaktif. Adanya anggapan bahwa sedimetansi dan desintegrasi radioaktif berlangsung dengan kecepatan konstan sepanjang sejarah bumi.[4] Hal ini tidak tepat, misalnya telah diketahui sepasang kaus tangan yang dibiarkan dalam suatu sumur yang banyak mata airnya di Knaresborough di Yorkshire telah berubah menjadi batu dalam waktu beberapa hari saja karena pesatnya proses pengendapan. Sementara ada tempat-tempat lain yang memerlukan ratusan tahun untuk menghasilkan sedimentasi seperti itu.
  2. Metode fosil. Jikalau kebanyakan fosil yang ditemukan terbentuk sebagai akibat bencana alam seperti air bah Nuh, maka sistem  umur bumi yang berdasarkan ’teori proses berulang’ tidak berarti sama sekali.
  3. Metode radioisotop. Kelemahannya adalah tidak dapat diketahui dengan pasti berapa prosen banyaknya atom yang berada di antara atom induk dan atom anak pada mulanya.
  4. Metode C-14. Para evolusionis menganggap bahwa radiasi kosmik sepanjang masa adalah uniform. Sedangkan cendekiawan kreasionis menegaskan bahwa radiasi kosmik tidak selamanya uniform, karena pernah tiba-tiba bertambah ketika uap air di cakrawala yang meliputi bumi gugur pada waktu air bah Nuh.[5]
  5. Air Bah Nuh. Banjir Nuh yang meliputi seluruh muka bumi telah memusnahkan permukaan bumi secara mendadak atau yang dikenal dengan Kathastropisme. Pandangan Kathastropisme adalah suatu paham yang percaya bahwa perubahan yang terjadi di dalam dunia ini secara umum disebabkan oleh kekuatan fisik yang terjadi dengan tiba-tiba (suddenly by physical forces).[6] Pandangan ini sendiri berdasar pada penafsiran literal dan historikal dari catatan Alkitab.  Implikasinya terhadap penghitungan umur bumi, umur bumi tidak dapat dihitung secara akurat karena permukaan bumi yang pada mulanya itu telah musnah.
KESIMPULAN:
Karena semua Penelitian Evolusinisme juga masih sebatas kajian yg belum ada kesimpulan yang pasti, maka menurut saya, ALKITAB adalah benar, dan jika sekarang kita belum tahu, bukan karena ALKITAB salah tetapi karena memang kemampuan kita belum sampai ke taraf pengertian tentang usia bumi yang sebenarnya.


    PUSTAKA
    [1] Lht. Canadian Z. Panjaitan, Sains, Teknologi dan Alkitab (Bandung: Yayasan Pustaka Wina, 2000) 99-100 Sebagaimana dikutip dari Henry M. Morris, The Scientific Case for Creation (San Diego, CA: Master, 1977).
    [2] Donald W. Patten, The Biblical Flood and The Ice Epoch (Seattle: Pacific Meridian, 1966) 7.
    [3] Rachmiati Suriadjaja, Problema Kitab Kejadian (Malang: SAAT, 1985) 108.
    [4] Enoch, Evolusi atau Penciptaan (Bandung: Kalam Hidup, 1976) 23
    [5] Ibid. 25
    [6] Donald, The Biblical 7.