BIJAK MENGELOLA UANG



Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang yang bebal memboroskannya (Ams 21:20)
Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya? (Luk 16:11)

Kemampuan kita mengelola uang akan menentukan kepercayaan Tuhan kepada kita atas kekayaan-Nya (materi dan spiritual). Tidaklah berlebihan bila dikatakan: “Kemajuan kerohanian seseorang dan pengenalannya akan Tuhan dipengaruhi oleh kemampuannya mengelola uang". Setelah membawa persepuluhan, banyak orang berpikir bahwa sisa yang 90% adalah milik mereka. Sisa yang 90% adalah MILIK TUHAN! Ketidakmengertian inilah yang akhirnya mendorong orang Kristen hidup boros. Orang yang boros sama dengan orang bebal (Ams. 21:20). Yang penting adalah "bukan seberapa banyak uang yang kita miliki, tetapi seberapa bijak kita mengelola keuangan". Mengapa banyak orang Kristen tidak dapat mengelola uang mereka dengan baik? Pertama, gaya hidup konsumerisme atau bersifat konsumtif. Kedua, hidup gaya. Banyak orang membeli barang yang tidak mereka butuhkan hanya untuk memberi kesan hebat kepada orang-orang yang tidak mereka sukai! Hidup gaya adalah hidup didalam ilusi. Inilah yang mendorong orang berpikir lebih tinggi daripada yang patut dipikirkan (Rm. 12:3). Ketiga, tidak memiliki prioritas yang benar. Sering kali kita mengeluarkan uang bukan untuk hal-hal yang penting dan yang benar-benar dibutuhkan, tetapi hanya sekadar karena "keinginan mata" (Pkh. 2:10) atau karena promosi penjualan. 
Bagaimana mengelola uang dengan benar? Pertama, miliki sikap hidup hemat dan sederhana (ini tidak sama dengan kikir atau tidak mau berbagi). Kita harus memiliki rasa cukup atas apa yang diberikan oleh Tuhan (1Tim. 6:6; Luk. 3:14). Kedua, jangan membandingkan diri kita dengan orang lain. Hidup kita tidak ditentukan oleh orang lain, dan kita tidak harus sama seperti orang lain. Ketiga, berpikir sebelum membeli. Jangan membiarkan emosi kita menjadi lebih dominan dari pada akal sehat kita. Berpikirlah terlebih dahulu "apakah barang yang akan saya beli benar-benar saya butuhkan saat ini?", "apakah ada barang sejenis yang lebih murah?", dan seterusnya. Keempat, buatlah anggaran sesuai dengan prioritas yang benar dan bersikaplah konsisten dengan anggaran tersebut. Prioritas yang benar adalah: persepuluhan, keperluan hidup yang sungguh-sungguh dibutuhkan, benih untuk ditabur (persembahan), dan tabungan. Banyak orang membuat anggaran yang baik namun pengeluaran mereka tidak mengacu pada anggaran tersebut. Kelima, hindari atau kurangi frekuensi kunjungan ke pusat-pusat perbelanjaan. Kunjungan kepusat perbelanjaan dapat memicu pengeluaran yang tidak perlu.

Pustaka:
1. Alkitab, LAI
2. Menjadi Murid Yang Menerobos

MENJADI MURID SEJATI


"Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku (Luk 14:26-27)
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, (Mat 28:19)

Sebelum Tuhan Yesus naik ke surga, Ia memberi perintah kepada murid-murid-Nya untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya" (Mat. 28:19-20). Tuhan tidak ingin kita hanya sekadar menjadi orang percaya. la ingin agar kita menjadi murid (Yoh. 8:30-31). Pada masa gereja mula-mula, orang-orang percaya lebih dikenal sebagai murid-murid. Ada beberapa persyaratan agar orang percaya dapat disebut seorang murid. Pertama, ia harus tetap berada di dalam firman-Nya (Yoh. 8:31). Seorang murid harus menunjukkan konsistensinya dalam menjalankan apa yang diajarkan kepadanya. la tidak akan menyimpang dari firman-Nya. la akan menaati setiap firman-Nya. Oleh karena itu, ia harus mempelajari dan mengerti firman-Nya agar dapat tetap berada di dalam firman-Nya. Kedua, ia harus bebas dari "ikatan" keluarga dan diri sendiri yang sifatnya negatif (Luk. 14:26). Kata "membenci" dalam ayat ini bukan dalam arti kebencian, tetapi keterikatan yang kuat dengan keluarga dan diri sendiri sehingga menghambat kemajuan dalam kerohanian. Bukankah ada banyak orang yang begitu terikat dengan tradisi dan kebiasaan keluarga yang tidak sesuai dengan firman Tuhan? Bukankah kita juga sering "mengasihi" diri sendiri? Inilah yang harus dilepaskan, supaya kita bisa menjadi murid-Nya. Ketiga, ia harus memikul salibnya (Luk. 14:27). Setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh pasti memiliki salibnya sendiri, dan salib itu tidak mungkin dipikul oleh orang lain. Inilah penderitaan yang dialami akibat imannya kepada Kristus, misalnya ejekan, tamparan, dikucilkan, dihambat, dan seterusnya. Itulah sebabnya, kita harus mempersiapkan pikiran (mental) seperti itu (1Ptr. 4:1). Banyak orang percaya yang tidak siap mental dalam memikul salibnya sendiri, sehingga ia tidak pernah bisa menjadi dewasa dan menjadi murid-Nya. Keempat, ia harus mengikuti Yesus (Luk. 14:27). Selain memikul salib, seorang murid harus selalu mengikut ke mana Sang Guru pergi. Ini berarti, ia tidak bisa berjalan mengikuti kemauannya sendiri, tetapi kemauan dan rencana Tuhan. Untuk dapat menjadi seorang murid memang perlu pembentukan.

Pustaka:
1. Alkitab, LAI
2. Menjadi Murid Yang Menerobos

MEMIKIRKAN PERKARA YANG DI ATAS


Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Rom 12:3)
Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi (Kol 3:2)

Pikiran adalah awal dari setiap perasaan dan tindakan serta gambar (citra) diri seseorang. Bagaimana kita berpikir akan menentukan bagaimana kita melihat, menginterpretasikan (menafsirkan), dan menilai kehidupan, serta bagaimana kita melihat diri sendiri. Bila kita berpikir rumit, kita akan melihat kehidupan menjadi rumit. Sebaliknya, kalau kita berpikir sederhana, kita akan melihat kehidupan menjadi sederhana. Selain itu, bagaimana kita berpikir juga akan menentukan bagaimana kita menentukan pilihan dan keputusan. Tuhan menghendaki agar kita berpikir tidak terlalu tinggi, tetapi yang pantas dan sesuai dengan kadar iman, sehingga dapat menguasai diri (Rm. 12:3). 

Ada orang-orang Kristen yang berpikir sedemikian tinggi, sehingga memaksakan diri dan akhirnya membuat mereka tidak dapat menguasai diri. Ada banyak orang Kristen yang terjerat dengan hutang karena pengeluaran yang begitu tinggi dan keinginan yang terlalu tinggi, sehingga pada akhirnya mereka tidak dapat mengendalikan pengeluaran mereka. Untungnya, bagaimana kita berpikir tidak ditentukan oleh orang lain, tetapi ditentukan oleh kita sendiri. Rasul Paulus mengajak jemaat di Kolose untuk memikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi (Kol. 3:2). la menjelaskan bahwa kitalah yang menentukan apa yang ingin kita pikirkan dan ke mana pikiran kita akan diarahkan. Hidup di zaman sekarang telah menjadi rumit dan sulit, sehingga perlu dicermati dengan berpikir sederhana, agar menjadi lebih tenang, efisien, dan tidak frustrasi. Apabila kita berpikir rumit di tengah kondisi yang rumit, hidup kita akan semakin sulit dan terjepit!

Pustaka:
1. Alkitab, LAI
2. Menjadi Murid Yang Menerobos

Definisi Martir

Konsep martir berkembang dalam Perjanjian Baru sebagai seseorang yang dapat memberikan kesaksian mengenai kehidupan dan kuasa Tuhan Yesus Kristus. "(Yohanes) datang sebagai saksi (marturia) untuk memberi kesaksian tentang Terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya" - Yohanes 1:7 & "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi (martus) - Ku di Yerusalem dan seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi" (Kisah Para Rasul 1:8). 

Menurut definisi saat ini, seorang martir adalah seseorang yang meninggal karena imannya. Sayangnya, karena defenisi ini kita kehilangan arti sesungguhnya dan yang dalam mengenai dunia martir.

St. Agustinus pernah berkata bahwa, "Penyebablah, bukan penderitaan, yang menjadikan seseorang menjadi martir yang sejati." Martir dalam bahasa Yunani berarti "seseorang yang mengingat, dan yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran dengan merenungkannya, serta yang dapat membagikan kesaksian tentang kebenaran tersebut" yang secara literal berarti seorang "saksi".

Martir Perjanjian Baru bukan hanya seseorang yang menyaksikan kebenaran dan kuasa Yesus Kristus untuk pribadinya, namun juga seseorang yang diperintahkan untuk memberikan kesaksian itu kepada orang lain, berapapun harga yang harus dibayar. Dalam Kisah Para Rasul 7, kita membaca tentang Stefanus yang dilempari batu. Peristiwa ini menjadikannya sebagai orang pertama yang membayar harga tertinggi karena memberikan kesaksian. Mulai saat inilah kata martir memiliki arti yang lebih kuat karena seseorang yang tidak hanya menjadi saksi tetapi karena seseorang yang juga berkemauan memberikan hidupnya atau menjadi martir karena alasan memberikan kesaksian. Sepanjang perkembangan jemaat mula-mula, konsep martir terus berkembang menjadi "seseorang yang memberikan kesaksian dibawah ancaman," dan "seseorang yang meneladani Kristus"

Saat Polycarpus dibunuh oleh penguasa Roma pada abad kedua (dijatuhi hukuman dibakar hidup-hidup), ia diakui sebagai seseorang yang hidupnya telah menjadi teladan iman dalam Yesus Kristus. Dalam sebuah surat yang ditujukan kada jemaat di Smirna, Polycarpus diberi gelar sebagai "martir" sebab meninggal oleh karena imannya.

Kesimpulannya, definisi seorang martir Kristen adalah "seseorang yang memilih untuk menderita sampai mati daripada menyangkal Kristus atau karya-Nya; yang mengorbankan sesuatu yang sangat penting untuk melebarkan Kerajaan Allah; yang bertahan dalam penderitaan yang hebat karena menjadi saksi Kristus"

Semoga Tuhan memberi kemampuan kepada kita untuk menjadi saksiNya dalam kehidupan kita. Amin.