KEPERCAYAAN TOTAL

Sejumlah orang menganggap beriman sebagai tidak mempercayai apapun, mengharapkan sesuatu yang muluk atau apa yang mereka sebut “iman yang buta”. Bagaimanapun kekristenan tidak memberi tempat bagi iman yang buta, sebab iman dibangun di atas bukit yang solid dan alasan yang kuat. Petrus menyinggung issu ini di dalam 2Petrus 1:16, “sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja, tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya.” Laporan adanya saksi mata bukan penunjuk iman yang buta.

Topic iman memunculkan tiga pertanyaan besar. Pertama, apakah iman yang menyelamatkan? Issu ini tidak sederhana karena Yakobus 2:14 menggambarkan sejenis iman yang tidak menyelamatkan. “apakah gunanya …jika seorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?” Para Reformator memberikan cirri-ciri tiga rumusan iman yang menyelamatkan: (1) Pengetahuan Alkitab. Iman yang menyelamatkan bukanlah beriman dalam kehampaan, melainkan iman yang mengacu pada pribadi dan karya Kristus. Orang harus mengetahui fakta ini untuk dapat diselamatkan. (2) Persetujuan terhadap fakta-fakta itu. Jika seseorang mengetahui informasi itu tetapi menganggapnya salah, jelas sekali ia tidak memiliki iman yang menyelamatkan. (3) Keyakinan pribadi terhadap fakta-fakta itu. Saya bersandar dan bergantung pada kematian Yesus untuk membayar hukuman dosa saya. Iman yang menyelamatkan memiliki tiga unsur – pengetahuan, persetujuan, dan keyakinan.

Pertanyaan besar kedua adalah, apakah hubungan antara iman dan pemikiran? Sejarah Gereja memperlihatkan tiga pendirian: (1) Pemikiran mendahului iman. Keseluruhan intelek penting di dalam pandangan ini, dan iman merupakan bagian dari fungsi pemikiran. (2) Iman dan pemikiran saling bertolak belakang. Iman diutamakan, dan pemikiran ditempatkan sebagai musuh yang harus ditaklukkan iman. (3) Iman mendahului dan memungkinkan pemikiran. Dengan kata lain, iman dan pemikiran sama-sama penting dan berjalan bersama-sama. Pandangan ketiga ini sangat sesuai dengan Alkitab, yang menggambarkan iman dan pemikiran sebagai suatu kesatuan seutuhnya pada diri seseorang. Allah menciptakan kita dengan pemikiran rasional untuk memproses informasi yang dinyatakan-Nya. Respons iman kita terintegrasi dengan informasi yang diproses pemikiran kita.

Pertanyaan besar ketiga adalah, apakah hubungan antara iman dan perbuatan? Paulus menyinggung issu ini dengan tegas: “sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah – itu bukan hasil pekerjaanmu” (Efesus 2:8-9). Allah membenarkan berdasarkan pelimpahan kebenaran Kristus kepada kita, yang kita terima dengan iman dan bukan diperoleh melalui perbuatan-perbuatan kita (2Korintus 5:21; Roma 3:20,24; 4:3).

Beberapa kesimpulan menyatakan pembenaran karena iman, yang melepaskannya dari perbuatan, menunjukkan bahwa perbuatan tidak dipentingkan. Tetapi Alkitab mengatakan sebaliknya: “Karena kita ini…buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik” (Efesus 2:10). Iman yang benar dan yang menyelamatkan selalu menghasilkan perbuatan, merupakan petunjuk bahwa pengakuan iman kita nyata (Yakobus 2:14-26). Oleh sebab itu, perbuatan diberi tempat. Persoalannya adalah mengenai waktu – Perbuatan itu mengikuti dan tidak mendahului keselamatan, membuktikan bahwa iman kita itu murni.

Allah tidak menutup mata terhadap perbuatan-perbuatan kita pasca-keselamatan. Ia menjanjikan upah kita di surga (Filipi 3:12-14; 2Timotius 4:7-8). Dengan demikian, orang-orang kristen harus mendemontrasikan iman melalui perbuatan-perbuatan, sebab di surga telah disediakan upah bagi kita dan kemuliaan kekal Allah. Iman kristen tidaklah buta atau membuat kita malas, tetapi berkarya dan berbuah untuk kemuliaan Tuhan.

Pustaka:
1.
1. Lima Menit Teologi, Rick Cornish, (Bandung: Pionir Jaya, 2007), hal. 217-219.
2. Alkitab (LAI, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar