KEBIASAAN MENGHUKUM

Bagi banyak orang muda, tradisi merayakan HUT seseorang dilaksanakan dengan banyak macam cara. Pelaksanannya juga terasa “aneh”, kadang mencemplungkan ke dalam kolam, ada yang melumuri temannya dengan tepung, atau dengan melemparinya dengan telur. Tidak hanya sampai disitu; yang berulang tahun masih diminta untuk mentraktir. Yang sekalipun hari itu adalah hari dimana dia ‘seharusnya” bergembira, tetapi dia harus menjalani “hukuman” terlebih dahulu.
Kita semua tahu bahwa semua itu hanyalah sebuah permainan untuk menikmati “sukacita” tetapi permainan menghukum disaat yg seharusnya bersukacita sudah menjadi tradisi. Hal itu dianggap menyenangkan dan diterima secara umum, namun sebenarnya hal ini mencerminkan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yaitu “Kebiasaan Menghukum”. Kalau kita mencermati, menghukum orang yang berulang tahun bukanlah satu-satunya kebiasaan yang menyenangi “Penghukuman”, Ospek/Orientasi/MOS telah terbukti bahwa menghukum seseorang sungguh “menyenangkan”.

Dalam kebiasaan ini, banyak orang merasa berhak menjadi penghukum. Mereka selalu menemukan alasan untuk menghukum orang lain. Pelanggaran merupakan tema yang disenangi. Karena itu, definisi pelanggaran dibuat sedemikian luas, mencakup banyak macam perbuatan, sehingga cukup banyak orang yang dapat dimasukkan kategori orang yang melanggar: melanggar aturan, adat, sopan santun dan tradisi (Yahya Wijaya, 2008).

Fakta membuktikan bahwa alasan “menghukum” seseorang tidak selalu berkaitan dengan perbuatan melanggar. Banyak juga orang yang “dihukum” karena keadaan fisiknya, sesuatu yang sebenarnya tidak bisa ia pilih. Orang yang menderita Obesitas diejek, orang pendek dihina, apalagi orang yang handicapped (cacat fisik). Juga banyak orang yang dihukum karena etnisitasnya atau agamanya, dan masih banyak lagi alasan yang digunakan untuk menjadi alasan menghukum seseorang.

Pendek kata, dalam kebiasaan “menghukum” ada terlalu banyak orang yang tidak sejahtera, tertekan dan terkekang, karena diperlakukan sebagai pihak terhukum. Hidup dipersulit oleh terlalu banyak aturan, pembatasan, larangan dan persyaratan. Birokrasi yang rumit dan merepotkan, persyaratan yang banyak dan tidak jelas gunanya, misalnya memerlukan sekian lembar fotocopy KTP, pasfoto, sekian lembar Akte kelahiran yang harus dilegarisir, dan masih banyak lagi (ini termasuk pengalaman saya dalam mengurus beberapa hal di kantor2 pemerintah) Kebiasaan menghukum ini tidak cocok dengan semangat Injil. Roma 8:1 menegaskan: “bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus, tidak ada lagi penghukuman”. Di dalam Kristus kita dibebaskan dari “budaya penghukuman”, dari posisi sebagai terhukum, dan dari mentalitas “penghukum”.

Dalam Roma 8:4-8, istilah “daging” tidak pertama-tama berarti “kejasmanian”. Seringkali orang Kristen memahami hal itu sebagai kehidupan duniawi – kehidupan di luar gereja, lingkungan yang bukan Kristen, atau kebiasaan berpesta pora, mabuk-mabukan dan hedonisme. “Hidup menurut daging” adalah ketika orang cenderung mencari-cari alasan dan cara untuk menghukum orang lain. Tidak harus dengan hukuman fisik, tetapi lebih-lebih adalah hukuman sosial, institusional, dan moral! Hal ini terjadi bukan hanya dalam pergaulan di luar gereja, tidak selalu di antara orang-orang yang tidak percaya, bukan pertama-tama di kalangan hedonis, atheis atau hippies.
Kebiasaan menghukum, “hidup menurut daging”, justru lebih sering terjadi di kalangan orang-orang beragama dan masyarakat yang mengaku rohani/religius. Dengan dalih “menjaga kesucian”, banyak orang di dalam komunitas keagamaan – termasuk gereja – dihukum secara moral dan institusional. Atas nama “disiplin gereja”, banyak orang Kristen bertingkah sebagai penghukum (karena itu mudah mengecam orang lain yang dianggap punya cacat moral), atau bagaikan terhukum (tidak merasa layak memikul tanggung jawab pelayanan) atau berpotensi menjadi terhukum (memilih menjadi penonton yang pasif saja) Kehidupan bergereja seringkali terasa bagaikan laut yang kelihatannya tenang dan indah, tetapi sewaktu-waktu bisa datang badai dan gelombang yang berbahaya. Gereja kelihatannya menyenangkan: penuh dengan musik, nyanyian, senyuman, cerita menarik dan lelucon. Tetapi di balik itu semua, ada ancaman dan tuntutan moral yang sangat menakutkan (Yahya Wijaya, 2008).

Ada begitu banyak anggota gereja dikenai sanksi karena melanggar salah satu Hukum yang dijelaskan dalam Keluaran 20:3-17 (terutama Hukum ke-7, yang aneh tidak pernah yang kena disiplin gereja karena melanggar hukum ke-5 atau ke-4, apalagi ke-10). Tidak bermaksud mengecilkan pentingnya menjaga kesucian dan aturan, tetapi kenyataan yang terjadi bahwa, kesucian dan disiplin rohani tidak dapat benar-benar dicapai melalui “kebiasaan menghukum”. Yang dapat dihasilkan budaya penghukuman maksimal adalah kemunafikan!

Orang Kristen tidak hidup menurut kebiasaan menghukum, tetapi “hidup menurut Roh” (Roma 8:9). Pertanyaanya: Roh yang bagaimana? Roh yang memerdekakan, Roh yang menghidupkan! Yang berarti, semangat Kristen adalah membebaskan seseorang, baik dari perasaan berhak menghukum, maupun dari mentalitas terhukum. Tugas orang Kristen bukan menghukum orang yang bersalah, tetapi mengampuni mereka, menerima mereka, dan menolong mereka untuk merasakan kemurahan Tuhan.  
Panggilan orang Kristen terhadap orang yang jatuh dalam dosa bukanlah mengucilkan mereka, atau melecehkan mereka, tetapi menolong mereka untuk dapat bangkit kembali, dan memulihkan rasa percaya diri mereka menjalani hidup dan menikmati pengampunan dalam Kristus Yesus.

Tentunya kita sadar bahwa banyak orang kuatir, kalau kita kurang mengancam dan tidak menghukum, nantinya orang akan hidup sembarangan. Orang yang berdosa tidak akan merasa bersalah, dan akan merasa betah berkubang dalam dosa. Kalau kebebasan terlalu ditekankan, yang dihasilkan nantinya anarkhi. “Hidup menurut Roh” memang melenyapkan nafsu menghukum, tetapi tidak berarti hidup tanpa norma atau hidup tanpa orientasi. “Hidup menurut Roh” tidak berarti toleransi terhadap dosa. Mereka yang “hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh”. Dan “keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera” (Roma 8:5-6). Jadi sangat jelas bahwa hidup menurut Roh merupakan kebalikan dari hidup berdosa. Roh cenderung kepada hidup, daging cenderung kepada kematian. Bukan hanya kematian fisik, tetapi juga kematian hati nurani, kematian persaudaraan, kematian perdamaian, kematian kasih sayang. Roh menghendaki damai sejahtera, dosa membawa kekacauan dalam pikiran, dalam pergaulan, dan dalam kehidupan masyarakat.
Hidup menurut Roh memang tidak menghukum orang lain yang berdosa, karena hukuman adalah wewenang Allah, tetapi menunjukkan kepada orang berdosa alternatif yang lebih baik bagi cara hidupnya. Jika gereja benar-benar dapat dirasakan sebagai lingkungan yang mengampuni, menghargai, dan merangkul setiap orang, lingkungan yang tidak bernafsu menghukum, maka begitu seorang berdosa masuk kedalam persekutuan orang percaya, ia akan merasa tidak kerasan lagi dalam dosanya. Ia akan merasa terlalu bodoh untuk tetap tinggal di dalam dosa. Kalau gereja cukup menarik bukan hanya karena musiknya atau acara-acaranya, tetapi juga karena tradisi pengampunan dan persaudaraannya, maka hidup dalam dosa menjadi tidak menarik.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk menjadi pembawa SHALOM.....Amin

1 komentar:

  1. Mantap pak,

    Diteruskan dan dikembangkan, pasti akan memberkati para pengunjung dan pembacanya, GBU

    Best regards,
    Micha

    BalasHapus